Responding Paper Agama Tradisional Orang
Tengger
A.
Asal
usul Orang Tengger
Menurut sebagian
kepercayaan masyarakat Tengger, namanya diambil dari dua orang suami isteri
yang merupakan cikal bakal penduduk Tengger yang menetap di suatu tempat antara
gunung Bromo dan Semeru, isteri bandsawan itu melahirkan seorang bayi perempuan
yang cantik rupawan yang di beri nama Roro Anteng. Tidak jauh dari tempat itu,
tinggalah seorang pendeta dengan isterinya, isteri pendeta itu melahirkan
seorang laki-laki yang bagus rupanya dan sehat tubuhnya (seger) karena itu
diberi nama Joko Seger dan menjadi pemuda yang tampan. Keduanya akhirnya
mengikat perkawinan dan kemudian membuka kampung baru, kampung itu diberi nama
Tengger. Dari nama Roro Anteng untuk awalan “Teng” dan dari Joko Seger yang
diambil untuk akhiran “Ger”.
Menurut beberapa ahli
sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu
hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau
Jawa) saat itu terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang
ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit yang merasa terdesak dengan
kedatangan pengaruh Islam, kemudian melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman
di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar pedalaman
Gunung Bromo ini kemudian mendirikan kampung yang namanya diambil dari akhiran
nama pemimpin mereka yaitu Roro Anteng dan Joko Seger.[1]
Masyarakat Tengger yang dimaksud disini adalah masyarakat yang
berada diwilayah pegunungan Tengger, berada di
sebelah utara gunung Semeru dan masuk ke dalam daerah Purbalinggo,
Pasuruan, Malang dan Lumanjang. Masyarakat Tengger di sebut “Wong Tengge” yang memiliki
adat istiadat atau faham kepercayaan tersendiri. Menurut sebagian kepercayaan
masyarakat Tengger, namanya diambil dari dua orang suami isteri yang merupakan
cikal bakal penduduk Tengger yang menetap di suatu tempat antara gunung Bromo
dan Semeru, isteri bandsawan itu melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik
rupawan yang di beri nama Roro Anteng. Tidak jauh dari tempat itu, tinggalah
seorang pendeta dengan isterinya, isteri pendeta itu melahirkan seorang
laki-laki yang bagus rupanya dan sehat tubuhnya (seger) karena itu diberi nama
Joko Seger dan menjadi pemuda yang tampan. Keduanya akhirnya mengikat
perkawinan dan kemudian membuka kampung baru, kampung itu diberi nama Tengger.
Dari nama Roro Anteng untuk awalan “Teng” dan dari Joko Seger yang diambil
untuk akhiran “Ger”. [2]
B.
Pandangan
hidup, kepercayaan orang Tengger
Kepercayaan
mereka terlihat pada unsur animisme,
yakni adanya roh-roh yang memiliki kekuatan
karena itulah mereka membuat berbagai upcara dan sesajian. Kepercayaan
masyarakat Tengger diantaranya :
a)
Animisme
Animisme berasal
dari kata anima yang artinya roh, nyawa, badan halus.Ialah salah satu
kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan roh atau makhluk halus yang
mengelilinginya.Roh nenek moyang bagi masyarakat Tengger mempunyai kedudukan
penting, roh nenek moyang dari anak cucu yang masih hidup.
b)
Konsep tentang Tuhan
Di dalam agama BudhaTengger tidak ditemukan suatu konsep tunggal
tentang Tuhan dandewa-dewa.Menurut agamaBudha Tengger untuk daerah sekitar
Ngidasari, pengertian tentang dewa Trimurti ialah Sang Hyang Betoro Guru, Sang
Hyang Betoro Wisnu dan Sang Hyang Betoro Siwo. Tetapi dari ketiga nama dewa
tersebut terdapat dewa tertinggi yang dinamakan Sang Hyang Wiseso atau Sang
Hyang Tunggal. Sedangkan Sang Hyang yang diucapkan dalam semedi ialah Gusti
yang Maha Agung atau Sang Hyang Widi.
c)
Sembahyang dan Semedi
Di samping
melaksanakan sesaji dan upacara selamatan agama Budha Tengger mengenal pula
tata cara sembahyang yang ia sebut semedi. Praktek semedi bisa dilakukan
dirumah, sanggar pemujaan, tempat-tempat sepi seperti gunung, gua dan
sebagainya.
d)
Konsep Alam
Di samping alam
yang terlihat nyata, mereka pun mempercayai alam lain dibalik kehidupanyang
terlihat ini. Para dewata dalam pandangan mereka ditempatkan di Suralaya, suatu
tempat tertinggi yang dianggap suci.[3]
C.
Ritus
dan upacara keagamaan masyarakat Tengger
1.
Hari Raya Karo
Hari raya Karo
adalah hari raya pemeluk agama Budha Tengger yang dirayakan bersama-sama secara
besar-besaran dan diadakan pada pertengahan bulan Karo (bulan kedua) setiap
tahun. Upacara dilaksanakan selama 7 hari, selama itu mereka saling kunjung
mengunjungi untuk mempererat tali persaudaraan yang disebutnya dengan istilah
sambung batin.Tujuan upacara Karo ialah memohon selamat untuk penghormatan
kepada bapak dan ibu, karena dengan perantara keduanyalah Tuhan telah
menyebarkan bibit manusia.Upacara ini dipimpin oleh dukun.
2. Hari
Raya Kesodo
Hari raya
Kesodo adalah hari raya yang diadakan oleh masyarakat Tengger pada bulan ke 12
(saddo) pada pertengahan bulan.Upacara Kesodo menempati tempat yang khusus di
hati masyarakat Tengger. Mereka percaya, jika mereka tidak turut merayakannya
kehidupannya tidak akan tentram. Sebaliknya jika mereka melaksanakan upacara
tersebut maka hidupnya akan selamat dan dimurahkan rejeki, karena itu jauh-jauh
hari dari sebelumnya mereka telah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan.[4]
D.
Upacara
kelahiran, perkawinan dan kematian dalam suku Tengger
Upacara
Kelahiran
Upacara ini
merupakan rangkaian dari enam macam upacara yang berkaitan.Pertama, ketika bayi
yang berada dalam kandungan telah berumur tujuh bulan, yang bersangkutan
mengadakan selamtan nyayut atau upacara sesayut.Maksud upacara adalah agar bayi
lahir dengan selamat dan lancar.Setelah bayi lahir dengan selamat yang
bersangkutan mengadakan upacara sekul brokohan.Ari-ari bayi yang mereka sebut batur
‘teman’ disimpan dalam
tempurung, kemudian ditaruh di sanggar.[5]
Upacara
Perkawinan
Orang Tengger
dilaksanakan berdasarkan perhitungan waktu yang ditentukan oleh dukun yang
harus sesuai dengan saptawara atau pancawara kedua calon pengantin. Selain
menggunakan perhitungan saptawara dan pancawara, dukun juga menggunakan
perhitungan nasih berdasarkan sandang (pakaian), pangan (makanan), lara
(sakit), dan pati (kematian). Hari perkawinan harus menghindari lara dan pati.
Jika terpaksa jatuh pada lara dan pati, harus dan di adakan upacara ngepras,
yaitu membuat sajian yang telah diberi mantra oleh dukun dan kemudian
dikurbankan. Agar tetap selamat, mereka yang hari perkawinannya jatuh pada lara
dan pati harus melaksanakan upacara ngepras setiap tahun.
Upacara Kematian
Diselenggarakan
secara gotong royong.Para tetangga memberi bantuan perlengkapan dan keperluan
untuk upacara penguburan.Bantuan spontanitas tersebut berupa tenaga, uang,
beras, kain kafan, gula, dan lain-lain yang disebut nglawuh. Setelah dimandikan
mayat diletakkan di atas balai-balai kemudian dukun memercikkan air suci dari
prasen kepada jenazah sambil mengucapkan doa kematian.[6]
E.
Interaksi
kepercayaan Orang Tengger dengan agama-agama lain
Sekarang ini
agama Hindu makin berkembang di Tengger.Sebagian besar pemuka adat Tengger
mendukung diberikannya pelajaran agama Hindu di Sekolah Dasar.Maraknya
revitalisasi Hindu Tengger berawal, ketika pada tahun 1979 rombongan pertama
guru agama dari Bali tiba di Tengger.Rombongan ini membentuk kelas-kelas baru
untuk anak-anak dan orang dewasa, dan mengajar generasi muda Tengger membaca
doa-doa dalam bahasa Sansekerta.
Menjelang tahun
1980 ketika pembaharuan Hindu di Tengger makin agresif, muncul kontroversi di
antara para dukun Tengger. Hampir separuh dari dukun Tengger masih menentang
gerakan tersebut dan mencurigainya sebagai pembangkang tradisi Tengger, bahkan
di antara para pemuka pembaharuan pun terjadi perdebatan pendapat yang serius
yang mengakibatkan perbedaan kebijakan yang radikal atas pelestarian
peribadatan para dukun.15 Untunglah, suasana kehidupan yang beraroma konflik
tersebut tidak berlangsung lama.Kebijakan pemerintah melestarikan kebudayaan
lokal dan nasional, mampu meredakan kontroversi yang disinggung Hefner.
Kepedulian dan
bantuan pemerintah kepada orang Tengger pada perayaan Kasada menunjukkan bahwa
pemerintah sangat berkepentingan dengan kelestarian adat Tengger.Para pemuka
pembaharuan menyadari dan memahami perkembangan tersebut.Agama Hindu dan adat
Tengger bangkit bersama-sama.[7]
Adapun
pengaruh Agama Islam, Mulanya penduduk asli suku Tengger tinggal di pesisir
pantai di Probolinggo dan Lumajang. Mereka tinggal di sana selama masa kerajaan
Majapahit masih menganut ajaran agama Hindu, kemudian Islam mulai masuk di
kerajaan Majapahit.lama kelamaan agama Islam mulai berkembang pesat di wilayah
Suku Tengger karena keterbukaan dan kesenangan orang Tengger dengan kegiatan
berdagang.[8]
[1] Diakses pada 21 April 2016 dari
https://way4x.wordpress.com/cerita-tanah-leluhur/sejarah-suku-tengger/
[2] Simahandi Widyaprakoso, Masyarakat Tengger, (Yogyakarta :
Warta Pustaka, 2006),h.33-34
[3] Ahmad Syafi’I Mufid, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa
Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama RI, 1999),
h.52-53
[4] Ibid,h.55
[5] Capt.R.P.Suyono, Mistisisme Tengger, (Yogyakarta: LKIS
Yogyakarta,2009), h.30
[6] Sutarto, “Komunitas Lokal dalam Prespektif Perubahan Sosial Budaya. Kasus Tengger”, Makalah
dalm Simposium Nasional dalam Rangka Lustrum VII, (Jember:
Gramedia,1999),h.32
[7] Robert W. Hefner, The Political Economy on Mountain Java: In
Interpretive History, (Barkeley: Universitas of California Press,1990),h.15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar