Agama Tradisional Orang Suku Naulu
1.
Asal Usul Suku Naulu
Suku Naulu sering disebut juga orang Naulu atau
Nuahunai, artinya orang yang berdiam di hulu Sungai Nua yaitu daerah dari mana
mereka berasal sebelum menempati daerah yang sekarang.[1]
Suku Naulu terletak di wilayah Kecamatan Amhai, kampung Lama/Yahisiro dan
Bonara. Naulu terdiri dari dua kata Nua yang
berarti air, Ulu artinya kepala. Jadi Naulu artinya suku yang mendiami kepala
air Nua/ Sungai Nua. Penamaan suku Naulu dilatar belakangi oleh tempat tinggal
nenek moyang mereka. Sungai Nua bersumber di gunung Manusela dan terbagi
menjadi 2 bagian :
1) Nua Ulu yang
bermuara ke Seram Uatar.
2) Nua Ulu yang
bermuara ke Marakiri.
Asal muasal mereka bertempat tinggal di Weri Hulawano (Kepala air Nua)
karena terjadi perselisihan antar klan. Akibat perselisihan itu para kepala
suku bersepakat untuk pindah ke pantai. Yang menjadi masalah mereka kemudian,
pantai mana yang cocok untuk menjadi tempat tinggal mereka yang baru ? mereka juga
mencari acuannya di mana matahari naik pada bagian mana matahari masuk. Masing-masing
kepala suku berebutan tempat pada kedua bagian tersebut. akibatnya, di antara
mereka pun berselisih lagi dan mereka kembali lagi ke Pia dan Weno di Amtrino.
Sekian lamanya mereka tinggal di Pia dan
Weno, kemudian mereka melakukan hubungan dengan Raja Sepa. Raja Sepa
tidak keberatan hidup berdampingan dengan Suku Naulu asal saja suku Naulu
memenuhi persyaratan-persyaratan yang di ajukan raja Sepa. Pesyaratannya yaitu :
a. Kebiasaan adat
suku Naulu yang suka memotong kepala mansia supaya dihilangkan dan diganti
dengan kain merah (berang) dan piring tua serta tikar sebagai pembungkus orang
meninggal.
b. Baileu atau rumah adat yang biasanya dipakai untuk
rapat-rapat supaya dipindahkandari tepi pantai (tempat lama) ke tempat baru.
Dan tiang Leewaka ditanggung oleh suku Naulu.
Sejak itu suku Naulu bertempat tinggal di Kampung Lama, yakni kurang
lebih 25 km dari Sepa. Mulai saat itulah tidak ada lagi adat Suku Naulu yang
suka memotong kepala manusia dan senantiasa bergotong royong jika Baeleu Sepu dibangun.[2]
2. Pokok Ajaran Kepercayaan Suku Naulu
a. Konsepsi tentang
Tuhan
Upu Kuanahatana atau Upu Allah
taala suatu zat yang merupakan kepercayaan tertinggi bagi suku Naulu. Apa saja permohonan
mereka langsung dimintakan kepada Allah taala.
Untuk melaksanakan pembacaan doa tersebut harus
ada upacara adat terlebih dahulu, seperti makanan, sirih, pinang, tembakau,
kapur dan beberapa jenis daun tertentu yang di letakkan di atas piring tua.
Para tetua adat diundang dalam upacara tersebut, tetua adat diundang dalam
upacara tersebut, tetua berdiri di tengah pintu sambil membaca kabata atau
sejenis dengan itu.
NamaUpu kuanahatana sering mereka pergunakan
dalam sumpah. Jika mereka bersumpah, mereka menyebut: “eh Upu kuanahatana atau eh Upu Allah taala” sambil telunjuk mereka
ke atas.
Kalaupun ada kepercayaan kepada arwah nenek
moyang hal itu adalah bentuk penghargaan atas jasa-jasa mereka selama hidupnya.
Tetapi kepercayaan utama mereka hanya kepada Upu Allah taala.
b.
Mite
Penjadian
Ada beberapa
mite dala proses kejadian alam ini. Pertama,
Awalu (Upu kuanahatana) menjadikan Nunusaku.
Nunusaku adalah suatu yang berpribadi. Dari Nunusaku inilah menjelma
seorang berpribadi yang berbentuk laki-laki dengan seorang wanita yang berasal
dari kayangan (langit). Dari hubungan kedua lawan jenis ini lahirlah
manusia-manusia, seperti Tala, Eti dan sapalewa. Dengan izin Upu Kuanahatana
darah yang mengalir dari kelahiran Tala, Eti dan sapalewaa itu menjadi danau.
Danau itu mengalir menjadi 3 sungai. Ketiga sungai itu adalah :
a.
Sungai yang
mengalir ke utara bernama Sapalewa.
b.
Sungai yang
mengalir ke selatan bernama Tala
c.
Sungai yang
mengalir ke barat bernama Eti.
Dari sinilah manusia dan alam berkembang hingga
saat ini.
Kedua, Upu Kuanahatana menciptakan langit
sebagai pribadi laki-laki (adam) dan bumi sebagai pribadi perempuan (hawa). Dari
persentuhan kedua pribadi tersebut, lahirlah benda-benda alam yang lain.
Setelah terjadi semua isi bumi, Upu Kuanahatana menurunkan Maatope dari langit.
Maatope diturunkan dari langit dengan tali seperti benang sutera yang sangat halus, mengingat bumi dimana tempat turunnya Maatope ini masih
cair. Berubah padat, dan akhirnya Maatope Maanawa yakni Maatope laki-laki.
Setelah itu Upu Kuanahatana menciptakan Maatope Hihina (perempuan) dari langit.
Langsung diturunkan ke bumi. Dari Maatope Maanawa dari Maatope Hihina inilah
berkembang manusia.
Sebagai buktibahwa Maatope/Upu Ama itu keluar
dari Nunusaku ialah Kabata yang berbunyi “ He
le te Nunusaku” intinya dari ungkapan kabata ini Maatope berasal dari
Nunusaku.[3]
3. Upacara Keagamaan Suku Naulu
Suku ini sebenarnya memiliki dua
tradisi yang aneh yaitu mengasingkan wanita yang sedang haid dan melahirkan,
serta tradisi memenggal kepala manusia sebagai persembahan. Di
setiap pemukiman masyarakat suku ini baik yang telah dimukimkan pihak
pemerintah maupun yayasan pembinaan masyarakat terasing bahkan yang masih hidup
mengembara di pedalaman Pulau Seram, kaum lelakinya membangun gubuk-gubuk kecil
yang disebut gubuk posuno.
Gubuk
–gubuk ini dibangun sebagai tempat berlindung sementara yang aman bagi kaum wanita
saat mereka menjalani masa haid maupun melahirkan. Gubuk posuno sebagai tempat
mengasingkan diri sementara itu berukuran 2×2 meter berdinding dan beratap daun
sagu dilengkapi sebuah tempat tidur yang disebut tapalang berukuran 1×2 meter.[4]
Tradisi memotong
kepala manusia yang mengerikan ini untungnya sudah hilang sejak awal 1900-an.
Namun sempat muncul kembali pada tahun 2005. Kala itu ditemukan dua mayat tanpa
kepala di Kecamatan Amahai Kabuaten Maluku Tengah. Usut punya usut dua orang
yang malang itu dipenggal kepalanya untuk persembahan atau ritual tradisional
suku Naulu. Pelakunya pun akhirnya dijatuhi hukuman mati oleh majelis hakim
Pengadilan Negeri Masohi.[5]
Masyarakat Suku Naulu menganggap bahwa dengan
mempersembahkan kepala manusia, maka rumah-rumah adat mereka akan terbebas dari
musibah.Selain itu, ada juga tradisi jika seorang raja Suku Naulu hendak
mengambil seorang menantu laki-laki, calon menantu tersebut harus
mempersembahkan kepala manusia sebagai mas kawin dan juga bukti kejantanannya.
Bagian tubuh kedua korban yang diambil
selain kepala yang nantinya diasapi adalah jantung, lidah, dan jari-jari.
Sementara anggota tubuh yang tidak diambil dihanyutkan di aliran sungai Ruata,
tidak jauh dari perkampungan suku Naulu dari komunitas Nuane.
Sejauh ini tidak ada
yang melanggar tradisi adat tersebut. Sanksi bagi pelanggarnya akan dikucilkan
dari masyarakat adat setempat dan juga dikenakan denda berupa pembayaran piring
tua dan kain berang (merah) bagi kaum perempuan.
A. Upacara Suu Anaku (Memandikan Anak)
Dikalangan mereka ada suatu tradisi yang
termasuk dalam upacara lingkaran hidup individu. Yaitu upacara yang berkenaan
dengan masa peralihan dari masa kandungan hingga kelahiran. Upacara tersebut
dinamakan oleh mereka upacara “Suu Anaku” yang berarti “memandikan anak”.
Ada dua versi yang berkenaan dengan
tujuan upacara ini. Versi yang pertama mengatakan bahwa tujuan dari upacara ini
adalah agar bayi baik ketika masih dalam kandungan hingga ketika dilahirkan
tidak di ganggu oleh roh-roh jahat. Versi ini sangat erat kaitannya dengan
kepercayaan mereka bahwa seorang perempuan yang sedang berbadan dua
(mengandung) berada dibawah pengaruh roh jahat yang sewaktu-waktu dapat
menimbulkan sesuatu yang tak diinginkan (mencelakakan), baik terhadap ibunya
maupun calon bayi untuk melenyapkan pengarh roh-roh jahat tersebut maka perlu
di lakukan upacara Suu Anaku. Sedangkan versi lainnya mengatakan bahwa upacara
Suu Anaku bertujuan untuk menghilangkan pembawaan-pembawaan lahiriyah (sifat,
watak, dan lain sebagainya) yang buruk pada sang bayi. Versi ini sangat erat
kaitannya dengan kepercayaan bahwa watak seseorang ditentukan oleh watak yang
di miliki oleh ama (ayah) dan ina (ibu).
Tata laksana yang lebih rinci upacara
Suu Anaku :
1.
Ketika seorang perempuan hamil tua akan
melahirkan, maka ia akan diantar oleh irihitipue dan kaum perempuan sekitar
rumah yang telah dewasa menuju ke posuno. Setelah ibu hamil sampai di posuno,
maka pihak keluarga perempuan akan memberi tahu pihak kerabat suaminya bahwa
tidak lama lagi akan berlangsung persalinannya. Pada saat kelahiran tiba,
irihitipue meminta kepada yang hadir dalam posuno untuk berdoa kepada Upu
Kuanahatana (Tuhan pencipta alam semesta) agar kelahirannya lancer. Setelah
sang bayi lahir, irihitipue mengambil kaitimana untuk memotong pusar bayi.
Setelah terpotong pusar bayi kemudian di ikat menggunakan rotan. Kegiatan
dilanjutkan pemandian bayi menggunakan air keramat yang diambil dari daerah
hulu sungai nua. Air tersebut dimasukkan kedalam ruas-ruas bambu. Sama seperti
sebelumnya saat pemandianpun masih diiringi dengan doa-doa. Setelah dimandikan
kemudian sang bayi diberikan kepada ibunya sedangkan para perempuan yang
mengikuti upacara akan kembali ke rumah masing-masing.
2.
Setelah bayi berusia 8 hari upacara
kedua diadakan yaitu pemandian bayi kembali. Upacara ini dimulai atas intruksi
irihitipue kepada ukakie (saudara tertua perempuan yang melahirkan) untuk
mengambil dan menggendong bayi tersebut dari ibunya yang kemudian diserahkan
kepada irihitipue yang telah menyiapkan ruas-ruas bambu yang berisi air
keramat. Kemudian bayi dimandikan dan dikeringkan. Kemudian diberi pakaian dari
sejenis pohon cidaku, namun sekarang seiring perkembangan zaman pakaian
tersebut diganti dengan pakaian tekstil. Acara selanjutnya penyerahan kembali
bayi dari irihitipue kepada ukakie untuk acara penghentakan kaki bayi ke tanah.
Maknanya yaitu sebagai isyarat bahwa tanah merupakan sumber kehidupan. Sangat
erat kaitannya dengan mata pencaharian mereka sebagai seorang pemburu dan
bercocok tanam. Setelah acara penghentakan maka akan dibawa ukakie dan
rombongan keluarga ke rumah orang taunya.
3.
Sesampai di rumah sang bayi dan ibunya
telah di tunggu oleh ayahnya. Ukakie menyerahkan kembali kepada ibunya, dan
ibunya berjalan ke arah suami menyerahkan bayinya. Oleh sang suami bayi
tersebut kemudian di perlihatkan kepada semua hadirin. Setelah selesai di
perkenalkan mereka semua dipersilahkan menuju meja upacara untuk makan bersama.
Jenis makanannya; papeda, tutupola, dan alu-alu. Seluruh makanan harus
disediakan oleh kelompok kerabat (soa) perempuan. Sebagai imbalannya pihak
kerabat suami menyerahkan sejumlah piring atau mangkuk tua buatan tiongkok.
Jumlah piring yang diberikan harus sama dengan jumlah makanan yang disediakan.
Setelah makan-makan dilanjutkan tari-tarian yang diikuti oleh semua semua
peserta upacara tari tersebut disebut tari mako. Sementara perta berlangsung
irihique memberi isyarat kepada ibu sang bayi untuk kembali ke posuno yang
diiringi oleh kerabat-kerabat perempuan. Setelah tiba di posuno, para kerabat
meninggalkan ibu dan sang bayi pergi kembali melanjutkan acara pesta adat.
4.
Setelah pesta adat maka sang ayah satu
sampai tiga hari diharuskan membawa bayi pergi ke tengah hutan untuk melakukan
bagian terakhir dari upacara Suu Anaku. Untuk itu sang ibu dan anaknya di
keluarkan oleh irihitipue dari posuno dengan disaksikan oleh para kerabat
perempuan. Sang suami kemudian menjemput sang istri untuk pergi menuju ke hutan
tempat pelaksanaan upacara selanjutnya. Setelah tiba di tempat yang ditentukan,
sang ayah mengambil daun-daun sagu dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga
berbentuk seperti tikar. Bayi mereka di letakkan diatas tikar tersebut dan di
tunggui oleh ibunya. Maksud dari upacara ini adalah untuk memperkenalkan bayi
kepada roh para leluhur, juga sebagai pernyataan syukur keluarga yang ditujukan
kepada Upu Kuanahatana atas kelahiran anak mereka. Menjelang matahari terbenam
berakhirlah acara ini, maka mereka bertiga pulang ke rumah. Kedatangan mereka
telah di tunggu oleh irihitipue bersama kelompok kerabat yang akan mengantarkan
ibu tersebut bersama bayinya kembali ke posuno hingga 40 hari setelah
melahirkan. Setelah 40 hari barulah c
mereka diperbolehkan untuk pulang ke rumah.[6]
B. Upacara Masa Dewasa bagi Perempuan (Pinamou)
Istilah
pinamou dalam pengertian
lokal berarti wanita
bisu karena selama berlangsungnya
upacara ini si wanita bertindak seperti orang bisu. Wanita pinamou dibolehkan
berbiacara tapi harus
berbisik tidak boleh
berbicara keraskeras. Adapun
maksud dan tujuan
penyelenggaraan upacara ini
adalah untuk mangalihkan status
seorang perempuan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
[1]http://suku-dunia.blogspot.co.id/2014/12/sejarah-suku-naulu-di-maluku.html?m=1 diakses pd tgl 12 maret 2016.
[2]Ahmad Syafi’I Mufid, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa
Suku di Indonesia, (Jakarta:
Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999), h. 104.
[3]Ibid, h.
107-108.
[4]Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi
Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[6]Suradi
Hp, dkk, Upacara Tradisional Daerah Maluku, (Ambon: Departemen
Pendidikan Kebudayaan, 1982)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar