Kamis, 09 Juni 2016

Agama Tradisional Orang Suku Naulu



Agama Tradisional Orang Suku Naulu

1.        Asal Usul Suku Naulu
Suku Naulu sering disebut juga orang Naulu atau Nuahunai, artinya orang yang berdiam di hulu Sungai Nua yaitu daerah dari mana mereka berasal sebelum menempati daerah yang sekarang.[1] Suku Naulu terletak di wilayah Kecamatan Amhai, kampung Lama/Yahisiro dan Bonara. Naulu terdiri dari dua kata Nua yang berarti air, Ulu artinya kepala. Jadi Naulu artinya suku yang mendiami kepala air Nua/ Sungai Nua. Penamaan suku Naulu dilatar belakangi oleh tempat tinggal nenek moyang mereka. Sungai Nua bersumber di gunung Manusela dan terbagi menjadi 2 bagian :
1)      Nua Ulu yang bermuara ke Seram Uatar.
2)      Nua Ulu yang bermuara ke Marakiri.
Asal muasal mereka bertempat tinggal di Weri Hulawano (Kepala air Nua) karena terjadi perselisihan antar klan. Akibat perselisihan itu para kepala suku bersepakat untuk pindah ke pantai. Yang menjadi masalah mereka kemudian, pantai mana yang cocok untuk menjadi tempat tinggal mereka yang baru ? mereka juga mencari acuannya di mana matahari naik pada bagian mana matahari masuk. Masing-masing kepala suku berebutan tempat pada kedua bagian tersebut. akibatnya, di antara mereka pun berselisih lagi dan mereka kembali lagi ke Pia dan Weno di Amtrino.
Sekian lamanya mereka tinggal di Pia dan  Weno, kemudian mereka melakukan hubungan dengan Raja Sepa. Raja Sepa tidak keberatan hidup berdampingan dengan Suku Naulu asal saja suku Naulu memenuhi persyaratan-persyaratan yang di ajukan raja Sepa. Pesyaratannya yaitu :
a.       Kebiasaan adat suku Naulu yang suka memotong kepala mansia supaya dihilangkan dan diganti dengan kain merah (berang) dan piring tua serta tikar sebagai pembungkus orang meninggal.
b.      Baileu atau rumah adat yang biasanya dipakai untuk rapat-rapat supaya dipindahkandari tepi pantai (tempat lama) ke tempat baru. Dan tiang Leewaka ditanggung oleh suku Naulu.
Sejak itu suku Naulu bertempat tinggal di Kampung Lama, yakni kurang lebih 25 km dari Sepa. Mulai saat itulah tidak ada lagi adat Suku Naulu yang suka memotong kepala manusia dan senantiasa bergotong royong jika Baeleu Sepu dibangun.[2]

2.                Pokok Ajaran Kepercayaan Suku Naulu

a.       Konsepsi tentang Tuhan
Upu Kuanahatana atau Upu Allah taala suatu zat yang merupakan kepercayaan tertinggi bagi suku Naulu. Apa saja permohonan mereka langsung dimintakan kepada Allah taala.
Untuk melaksanakan pembacaan doa tersebut harus ada upacara adat terlebih dahulu, seperti makanan, sirih, pinang, tembakau, kapur dan beberapa jenis daun tertentu yang di letakkan di atas piring tua. Para tetua adat diundang dalam upacara tersebut, tetua adat diundang dalam upacara tersebut, tetua berdiri di tengah pintu sambil membaca kabata atau sejenis dengan itu.
NamaUpu kuanahatana sering mereka pergunakan dalam sumpah. Jika mereka bersumpah, mereka menyebut: “eh Upu kuanahatana atau eh Upu Allah taala” sambil telunjuk mereka ke atas.
Kalaupun ada kepercayaan kepada arwah nenek moyang hal itu adalah bentuk penghargaan atas jasa-jasa mereka selama hidupnya. Tetapi kepercayaan utama mereka hanya kepada Upu Allah taala.
b.      Mite Penjadian
Ada beberapa mite dala proses kejadian alam ini. Pertama, Awalu (Upu kuanahatana) menjadikan Nunusaku. Nunusaku adalah suatu yang berpribadi. Dari Nunusaku  inilah menjelma seorang berpribadi yang berbentuk laki-laki dengan seorang wanita yang berasal dari kayangan (langit). Dari hubungan kedua lawan jenis ini lahirlah manusia-manusia, seperti Tala, Eti dan sapalewa. Dengan izin Upu Kuanahatana darah yang mengalir dari kelahiran Tala, Eti dan sapalewaa itu menjadi danau. Danau itu mengalir menjadi 3 sungai. Ketiga sungai itu adalah :
a.       Sungai yang mengalir ke utara bernama Sapalewa.
b.      Sungai yang mengalir ke selatan bernama Tala
c.       Sungai yang mengalir ke barat bernama Eti.
Dari sinilah manusia dan alam berkembang hingga saat ini.
Kedua,  Upu Kuanahatana menciptakan langit sebagai pribadi laki-laki (adam) dan bumi sebagai pribadi perempuan (hawa). Dari persentuhan kedua pribadi tersebut, lahirlah benda-benda alam yang lain. Setelah terjadi semua isi bumi, Upu Kuanahatana menurunkan Maatope dari langit. Maatope diturunkan dari langit dengan tali seperti benang sutera yang sangat halus, mengingat bumi dimana tempat turunnya Maatope ini masih cair. Berubah padat, dan akhirnya Maatope Maanawa yakni Maatope laki-laki. Setelah itu Upu Kuanahatana menciptakan Maatope Hihina (perempuan) dari langit. Langsung diturunkan ke bumi. Dari Maatope Maanawa dari Maatope Hihina inilah berkembang manusia.
Sebagai buktibahwa Maatope/Upu Ama itu keluar dari Nunusaku ialah Kabata yang berbunyi “ He le te Nunusaku” intinya dari ungkapan kabata ini Maatope berasal dari Nunusaku.[3]

3.    Upacara Keagamaan Suku Naulu

Suku ini sebenarnya memiliki dua tradisi yang aneh yaitu mengasingkan wanita yang sedang haid dan melahirkan, serta tradisi memenggal kepala manusia sebagai persembahan. Di setiap pemukiman masyarakat suku ini baik yang telah dimukimkan pihak pemerintah maupun yayasan pembinaan masyarakat terasing bahkan yang masih hidup mengembara di pedalaman Pulau Seram, kaum lelakinya membangun gubuk-gubuk kecil yang disebut gubuk posuno.
Gubuk –gubuk ini dibangun sebagai tempat berlindung sementara yang aman bagi kaum wanita saat mereka menjalani masa haid maupun melahirkan. Gubuk posuno sebagai tempat mengasingkan diri sementara itu berukuran 2×2 meter berdinding dan beratap daun sagu dilengkapi sebuah tempat tidur yang disebut tapalang berukuran 1×2 meter.[4]
Tradisi memotong kepala manusia yang mengerikan ini untungnya sudah hilang sejak awal 1900-an. Namun sempat muncul kembali pada tahun 2005. Kala itu ditemukan dua mayat tanpa kepala di Kecamatan Amahai Kabuaten Maluku Tengah. Usut punya usut dua orang yang malang itu dipenggal kepalanya untuk persembahan atau ritual tradisional suku Naulu. Pelakunya pun akhirnya dijatuhi hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Masohi.[5]
Masyarakat Suku Naulu menganggap bahwa dengan mempersembahkan kepala manusia, maka rumah-rumah adat mereka akan terbebas dari musibah.Selain itu, ada juga tradisi jika seorang raja Suku Naulu hendak mengambil seorang menantu laki-laki, calon menantu tersebut harus mempersembahkan kepala manusia sebagai mas kawin dan juga bukti kejantanannya.
Bagian tubuh kedua korban yang diambil selain kepala yang nantinya diasapi adalah jantung, lidah, dan jari-jari. Sementara anggota tubuh yang tidak diambil dihanyutkan di aliran sungai Ruata, tidak jauh dari perkampungan suku Naulu dari komunitas Nuane.
Sejauh ini tidak ada yang melanggar tradisi adat tersebut. Sanksi bagi pelanggarnya akan dikucilkan dari masyarakat adat setempat dan juga dikenakan denda berupa pembayaran piring tua dan kain berang (merah) bagi kaum perempuan.


A. Upacara Suu Anaku (Memandikan Anak)
Dikalangan mereka ada suatu tradisi yang termasuk dalam upacara lingkaran hidup individu. Yaitu upacara yang berkenaan dengan masa peralihan dari masa kandungan hingga kelahiran. Upacara tersebut dinamakan oleh mereka upacara “Suu Anaku” yang berarti “memandikan anak”.
Ada dua versi yang berkenaan dengan tujuan upacara ini. Versi yang pertama mengatakan bahwa tujuan dari upacara ini adalah agar bayi baik ketika masih dalam kandungan hingga ketika dilahirkan tidak di ganggu oleh roh-roh jahat. Versi ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan mereka bahwa seorang perempuan yang sedang berbadan dua (mengandung) berada dibawah pengaruh roh jahat yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan sesuatu yang tak diinginkan (mencelakakan), baik terhadap ibunya maupun calon bayi untuk melenyapkan pengarh roh-roh jahat tersebut maka perlu di lakukan upacara Suu Anaku. Sedangkan versi lainnya mengatakan bahwa upacara Suu Anaku bertujuan untuk menghilangkan pembawaan-pembawaan lahiriyah (sifat, watak, dan lain sebagainya) yang buruk pada sang bayi. Versi ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan bahwa watak seseorang ditentukan oleh watak yang di miliki oleh ama (ayah) dan ina (ibu).
Tata laksana yang lebih rinci upacara Suu Anaku :
1.         Ketika seorang perempuan hamil tua akan melahirkan, maka ia akan diantar oleh irihitipue dan kaum perempuan sekitar rumah yang telah dewasa menuju ke posuno. Setelah ibu hamil sampai di posuno, maka pihak keluarga perempuan akan memberi tahu pihak kerabat suaminya bahwa tidak lama lagi akan berlangsung persalinannya. Pada saat kelahiran tiba, irihitipue meminta kepada yang hadir dalam posuno untuk berdoa kepada Upu Kuanahatana (Tuhan pencipta alam semesta) agar kelahirannya lancer. Setelah sang bayi lahir, irihitipue mengambil kaitimana untuk memotong pusar bayi. Setelah terpotong pusar bayi kemudian di ikat menggunakan rotan. Kegiatan dilanjutkan pemandian bayi menggunakan air keramat yang diambil dari daerah hulu sungai nua. Air tersebut dimasukkan kedalam ruas-ruas bambu. Sama seperti sebelumnya saat pemandianpun masih diiringi dengan doa-doa. Setelah dimandikan kemudian sang bayi diberikan kepada ibunya sedangkan para perempuan yang mengikuti upacara akan kembali ke rumah masing-masing.
2.         Setelah bayi berusia 8 hari upacara kedua diadakan yaitu pemandian bayi kembali. Upacara ini dimulai atas intruksi irihitipue kepada ukakie (saudara tertua perempuan yang melahirkan) untuk mengambil dan menggendong bayi tersebut dari ibunya yang kemudian diserahkan kepada irihitipue yang telah menyiapkan ruas-ruas bambu yang berisi air keramat. Kemudian bayi dimandikan dan dikeringkan. Kemudian diberi pakaian dari sejenis pohon cidaku, namun sekarang seiring perkembangan zaman pakaian tersebut diganti dengan pakaian tekstil. Acara selanjutnya penyerahan kembali bayi dari irihitipue kepada ukakie untuk acara penghentakan kaki bayi ke tanah. Maknanya yaitu sebagai isyarat bahwa tanah merupakan sumber kehidupan. Sangat erat kaitannya dengan mata pencaharian mereka sebagai seorang pemburu dan bercocok tanam. Setelah acara penghentakan maka akan dibawa ukakie dan rombongan keluarga ke rumah orang taunya.
3.         Sesampai di rumah sang bayi dan ibunya telah di tunggu oleh ayahnya. Ukakie menyerahkan kembali kepada ibunya, dan ibunya berjalan ke arah suami menyerahkan bayinya. Oleh sang suami bayi tersebut kemudian di perlihatkan kepada semua hadirin. Setelah selesai di perkenalkan mereka semua dipersilahkan menuju meja upacara untuk makan bersama. Jenis makanannya; papeda, tutupola, dan alu-alu. Seluruh makanan harus disediakan oleh kelompok kerabat (soa) perempuan. Sebagai imbalannya pihak kerabat suami menyerahkan sejumlah piring atau mangkuk tua buatan tiongkok. Jumlah piring yang diberikan harus sama dengan jumlah makanan yang disediakan. Setelah makan-makan dilanjutkan tari-tarian yang diikuti oleh semua semua peserta upacara tari tersebut disebut tari mako. Sementara perta berlangsung irihique memberi isyarat kepada ibu sang bayi untuk kembali ke posuno yang diiringi oleh kerabat-kerabat perempuan. Setelah tiba di posuno, para kerabat meninggalkan ibu dan sang bayi pergi kembali melanjutkan acara pesta adat.
4.         Setelah pesta adat maka sang ayah satu sampai tiga hari diharuskan membawa bayi pergi ke tengah hutan untuk melakukan bagian terakhir dari upacara Suu Anaku. Untuk itu sang ibu dan anaknya di keluarkan oleh irihitipue dari posuno dengan disaksikan oleh para kerabat perempuan. Sang suami kemudian menjemput sang istri untuk pergi menuju ke hutan tempat pelaksanaan upacara selanjutnya. Setelah tiba di tempat yang ditentukan, sang ayah mengambil daun-daun sagu dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti tikar. Bayi mereka di letakkan diatas tikar tersebut dan di tunggui oleh ibunya. Maksud dari upacara ini adalah untuk memperkenalkan bayi kepada roh para leluhur, juga sebagai pernyataan syukur keluarga yang ditujukan kepada Upu Kuanahatana atas kelahiran anak mereka. Menjelang matahari terbenam berakhirlah acara ini, maka mereka bertiga pulang ke rumah. Kedatangan mereka telah di tunggu oleh irihitipue bersama kelompok kerabat yang akan mengantarkan ibu tersebut bersama bayinya kembali ke posuno hingga 40 hari setelah melahirkan. Setelah 40 hari barulah c   mereka diperbolehkan untuk pulang ke rumah.[6]
B. Upacara Masa Dewasa bagi Perempuan (Pinamou)
Istilah  pinamou  dalam  pengertian  lokal  berarti  wanita  bisu  karena selama berlangsungnya upacara ini si wanita bertindak seperti orang bisu. Wanita pinamou  dibolehkan  berbiacara  tapi  harus  berbisik  tidak  boleh  berbicara  keraskeras.  Adapun  maksud  dan  tujuan  penyelenggaraan  upacara  ini  adalah  untuk mangalihkan status seorang perempuan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.



[2]Ahmad Syafi’I Mufid, Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI: 1999), h. 104.

[3]Ibid, h. 107-108.
[4]Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[6]Suradi Hp, dkk, Upacara Tradisional Daerah Maluku, (Ambon: Departemen Pendidikan Kebudayaan, 1982)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar