Kamis, 09 Juni 2016

Agama Tradisional Orang Jawa



Agama Tradisional Orang Jawa
1.      Kepercayaan Tradisional Orang Jawa dan Aneka Laku yang dipraktekkan Orang Jawa Sehari-hari
1). Tahlilan
Tahlilan berasal dari kata Hallala, Yuhallilu, Tahlillan. Artinya membaca kalimah La Ilaha Illallah. Biasanya dilakukan di masuki, musholah, rumah atau lapangan.
2). Ziarah Kubur
Ziarah kubur adalah mengunjungi makam sudah menjadi pemandangan umum di masyarakat kalau tidak kamis sore kadang Jum,at pagi.[1] Hal ini dilakukan karena sejak jaman agama Islam belum masuk ke Jawa. Masyarakat Jawapun melakukan ziarah kubur namun masih dalam kepercayaan Hindu-Buddha.
3). Haul
Kata “Haul” berasal dari Arab artinya setahun. Peringatan haul berarti peingatan genap satu tahun biasanya peringatan-peringatan seperti ini kebanyakan dilakukan oleh masyarakat Islam jawa, gema haul akan terasa dahsyat apabila yang meninggal itu seorang tokoh kharismatik, ulama besar, atau pendiri sebuah pesantren. Rangkaian acaranya biasnya dapat bervariasi, ada pengajian, tahlil akbar, mujahadah dan musyawarah.[2]
Beberapa macam puasa yang dilakukan oleh orang Jawa
a.         Mutih
Dalam puasa mutih ini seseorang tdk boleh makan apa-apa kecuali hanya nasi putih dan air putih saja. Nasi putihnya pun tdk boleh ditambah apa-apa lagi (seperti gula, garam dll.) jadi betul-betul hanya nasi putih dan air puih saja. Sebelum melakukan puasa mutih ini, biasanya seorang pelaku puasa harus mandi keramas dulu sebelumnya dan membaca mantra ini : “niat ingsun mutih, mutihaken awak kang reged, putih kaya bocah mentas lahirdipun ijabahi gusti allah.”
b.        Ngeruh
Dalam melakoni puasa ini seseorang hanya boleh memakan sayuran / buah-buahan saja. Tidak diperbolehkan makan daging, ikan, telur dsb.
c.         Ngebleng
Puasa Ngebleng adalah menghentikan segala aktifitas normal sehari-hari. Seseorang yang melakoni puasa Ngebleng tidak boleh makan, minum, keluar dari rumah/kamar, atau melakukan aktifitas seksual. Waktu tidur-pun harus dikurangi. Biasanya seseorang yang melakukan puasa Ngebleng tidak boleh keluar dari kamarnya selama sehari semalam (24 jam). Pada saat menjelang malam hari tidak boleh ada satu lampu atau cahaya-pun yang menerangi kamar tersebut. Kamarnya harus gelap gulita tanpa ada cahaya sedikitpun. Dalam melakoni puasa ini diperbolehkan keluar kamar hanya untuk buang air saja.
d.        Patigeni
Puasa Patigeni hampir sama dengan puasa Ngebleng. Perbedaanya ialah tidak boleh keluar kamar dengan alasan apapun, tidak boleh tidur sama sekali. Biasanya puasa ini dilakukan sehari semalam, ada juga yang melakukannya 3 hari, 7 hari dst. Jika seseorang yang melakukan puasa Patigeni ingin buang air maka, harus dilakukan didalam kamar (dengan memakai pispot atau yang lainnya). Ini adalah mantra puasa patigeni : “niat ingsun patigeni, amateni hawa panas ing badan ingsun, amateni genine napsu angkara murka krana Allah taala”.
e.       Ngelowong
Puasa ini lebih mudah dibanding puasa-puasa diatas Seseorang yang melakoni puasa Ngelowong dilarang makan dan minum dalam kurun waktu tertentu. Hanya diperbolehkan tidur 3 jam saja (dalam 24 jam). Diperbolehkan keluar rumah.
f.       Ngrowot
Puasa ini adalah puasa yang lengkap dilakukan dari subuh sampai maghrib. Saat sahur seseorang yang melakukan puasa Ngrowot ini hanya boleh makan buah-buahan itu saja! Diperbolehkan untuk memakan buah lebih dari satu tetapi hanya boleh satu jenis yang sama, misalnya pisang 3 buah saja. Dalam puasa ini diperbolehkan untuk tidur.
g.      Nganyep
Puasa ini adalah puasa yang hanya memperbolehkan memakan yang tidak ada rasanya. Hampir sama dengan Mutih , perbedaanya makanannya lebih beragam asal dengan ketentuan tidak mempunyai rasa.
h.      Ngidang
Hanya diperbolehkan memakan dedaunan saja, dan air putih saja. Selain daripada itu tidak diperbolehkan.
i.        Ngepel
Ngepel berarti satu kepal penuh. Puasa ini mengharuskan seseorang untuk memakan dalam sehari satu kepal nasi saja. Terkadang diperbolehkan sampai dua atau tiga kepal nasi sehari.
j.        Ngasrep
Hanya diperbolehkan makan dan minum yang tidak ada rasanya, minumnya hanya diperbolehkan 3 kali saja sehari.
k.      Senin-kamis
Puasa ini dilakukan hanya pada hari senin dan kamis saja seperti namanya. Puasa ini identik dengan agama islam. Karena memang Rasulullah SAW menganjurkannya.
l.        Wungon
Puasa ini adalah puasa pamungkas, tidak boleh makan, minum dan tidur selama 24 jam.
m.    TapaJejeg
Tidak duduk selama 12 jam
n.      Lelono
Melakukan perjalanan (jalan kaki) dari jam 12 malam sampai jam 3 subuh (waktu ini dipergunakan sebagai waktu instropeksi diri).
o.      Ngalong
Tapa ini juga begitu unik. Tapa ini dilakuakn dengan posisi tubuh kepala dibawah dan kaki diatas (sungsang). Pada tahap tertentu tapa ini dilakukan dengan kaki yang menggantung di dahan pohon dan posisi kepala di bawah (seperti kalong/kelelawar). Pada saat menggantung dilarang banyak bergerak. Secara fisik bagi yang melakoni tapa ini melatih keteraturan nafas. Biasanya puasa ini dibarengi dengan puasa Ngrowot.
p.      Ngeluwang
Tapa Ngeluwang adalah tapa paling menakutkan bagi orang-orang awam dan membutuhkan keberanian yang sangat besar. Tapa Ngeluwang disebut-sebut sebagai cara untuk mendapatkan daya penglihatan gaib dan menghilangkan sesuatu. Tapa Ngeluwang adalah tapa dengan dikubur di suatu pekuburan atau tempat yang sangat sepi. Setelah seseorang selesai dari tapa ini, biasanya keluar dari kubur maka akan melihat hal-hal yang mengerikan (seperti arwah gentayangan, jin dlsb).
Selain melakoni puasa-puasa diatas masyarakat kejawen juga melakukan puasa-puasa yang diajarkan oleh agama islam, seperti puasa ramadhan, senin kamis, puasa 3 hari pada saat bulan purnama, puasa Nabi Daud AS dll. Inti dari semua lakon mereka tujuannya hanya satu yaitu mendekatkan diri dengan Allah SWT agar diterima iman serta islam mereka.[3]
2.        Upacara Keagamaan dan Makna Keselamatan Orang Jawa
Kata “Kejawen” berasal dari kata "Jawa", yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah "segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)". Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, Kejawen sebagai filsafat yang memiliki ajaran-ajaran tertentu terutama dalam membangun Tata Krama (aturan berkehidupan yang mulia). Orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan : Sangkan Paraning Dumadhi (lit. "Dari mana datang dan kembalinya hamba tuhan") dan membentuk insan se-iya se-kata dengan tuhannya :Manunggaling Kawula lan Gusthi (lit. "Bersatunya Hamba dan Tuhan"). Dari kemanunggalan itu, ajaran Kejawen memiliki misi sebagai berikut:
1.     Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi)
2.     Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga)
3.     Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia)
4.     Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat bagi alam semesta)
berbeda dengan kaum abangan kaum kejawen relatif taat dengan agamanya, dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya namun tetap menjaga jatidirinya sebagai orang pribumi, karena ajaran filsafat kejawen memang mendorong untuk taat terhadap tuhannya. jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti : Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan agamanya.

Dalam buku Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, slametan diartikan sebagai upacara sedekah makanan dan doa bersama, yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan ketentraman untuk ahli keluarga yang menyelenggarakan. Biasanya untuk hajatan keberangkatan naik haji ke tanah suci, keberangkatan anak yang mau sekolah ke luar daerah, pendirian sebuah rumah, dan sebagainya. Harapan di masa depan yan glebih cemerlang, disamping harus dilakukan dengan pendekatan yang ilmiah rasional dan yang serba kasat mata, perlu juga dilakukan pendekatan adikodrati atau supranatural yang bersifat supranatural. Upacara slametan termasuk kegiatan batiniah yang bertujuan untuk mendapat Ridha dari Tuhan. Kegiatan slametan menjadi tradisi hampir seluruh kehidupan di pedusunan Jawa. Ada bahkan yang meyakinibahwa slametan adalah syarat spiritual yang wajib, dan jika dilanggar akan mendapatkan ketidakberkahan atau kecelakaan.Slametan sendiri berasal dari kata slamet yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki.
Sehingga slametan bisa diartikan sebagai kegiatan-kegiatan masyarakat Jawa yang biasanya digambarkan sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar. Dengan demikian, slametan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum dan tolak bala.
3.        Kepercayaan Kejawen
Masyarakat Jawa mempunyai kepercayaaan terhadap makhluk halus, di antaranya:
1)      Memedi : Roh yang Menakut-nakuti
Memedi adalah istilah Jawa untuk jenis roh yang paling mudah di pahami orang barat, karena ia hampir tepat sama dengan apa yang dalam bahasa Inggris disebut Spooks (hantu). Salah satu jenis hantu yang dirumuskan dan disepakati umum adalah Sundel bolong yaitu seorang wanita cantik yang telanjang tetapi kecantikannya dicemarkan dengan adanya lubang besar di tengah punggungnya. Rambutnya hitam dan panjang sampai ke pantat, hingga menutupi lubang dipunggung nya. Gendruwo jenis memedi yang paling umum, umunya lebih senang bermain-main dari pada menyakiti dan suka berbuat lucu terhadap manusia, seperti menepuk pantat perempuan (terutama waktu sedang sembahyang) memindahkan pakaian seseorang dari rumah dan melemprkannya ke kali, melempari atap rumah dengan batu sepanjang malam dan melemparkannya dari belakang sebtang pohon di pekuburan dalam wujud besar dan hitam.
2)      Tuyul : Makhluk Halus Yang Karib
Tuyul adalah soal lain. Walaupun beberapa orang mengatakan bahwa mereka itu bisa di daptkan lewat puasa dan meditasi dan orang lain lagi mengatakan bahwa kita malahan tak perlu melakukan itu ( semuanya itu tergantung dari tuyul sendiri, kalau ia ingin menolong kita ia akan menolong dan kalau ia tidak mau, ia akan menolak, tak peduli apapun yang kita lakukan ) tetapi kebanyakan orang bernggapan bahwa orang perlu membuat semacam perjanjian dengan setan, supaya tuyul mau menerima tawarannya.
3)      Lelembut : Roh Yang Menyebabkan kesurupan
Teori jawa tentang kesurupan sudah berkembang agak lanjut. Lelembu menurut beberapa orang selalu msuk kedalam tubuh dari bawah melalui kaki (itulah sebabnya orang membasuh kakinya sebelum bersembahyang di Masjid). Itu juga sebabnya orang dianjurkan menghangatkan tapak kakinya di atas tungku sebelum menengok seorang wanita yang baru melahirkan, karena bayi umumnya mudah dirasuki makhluk halus, suatu gejala yang disebut sawanen. Itulah sebabnya ubun-ubun bayi harus selalu ditutup dengan campuran bawang, merica dan parutan kelapa  (makanan yang pedas itu akan “mengejutkan” makhluk halus, dan akan jadi takut karenanya ) dan orang yang merasa sakit akan mengoleskannya kapur pada dahinya.
4)      Demit : Makhluk Halus Yang Menghuni Suatu Tempat
Ada banyak versi tentang mitos penciptaan Jawa, babad Tanah Jawi. Dalam suatu dongeng yang dikisahkan kepada saya oleh seorang dalang di desa sebelah utara Mojokuto, kisah itu mulai dengan Semar. Pelawak wayang kulit yang lucu dan bija,pahlawan kebudayaan jawa yang berbicara kepada seorang pendeta Hindu-Muslim, orang pertama dari rangkaian panjang para kolonis. Penda itu berkata kepada semar : Ceritakan kepadaku kisah pulau Jawa seblum ada manusia. Semar mengatakan bahwa pada masa itu seluruh pulau diliputi oleh hutan belantara kecuali sebidang kecil sawah tempat semar bertanam padi di kaki gunung Merbabu (sebuah gunung berapi di Jawa Tengah). sebenarnya kata semar, aku bukan manusia aku adalah makhluk halus yang tertua, rja dan nenek moyang sekalian makhluk halus, dan melalui mereka ini menjadi raja seluruh manusia.
5)      Danyang : Roh Pelindung
Danyang umumnya adalah nama lain dari demit (yang adalah akar kata Jawa yang berarti “Roh”) seperti demit. Danyang tinggal menetap pada suatu tempat yang disebut punden seperti demit, mereka menerima permohonan orng untuk minta tolong dan sebagai imbalnnya menerima persembahan slametan. Seperti demit mereka tidak menyakiti orang, melainkan hanya bermaksud melindungi. Namun berbeda dari demit beberapa danyang dianggap sebagai roh tokoh-tokoh sejarah yang sudah meninggal : pendiri desa tempat mereka tinggal, orang pertama yang membabad tanah.[4]
4.        Kitab-kitab Kejawen
a.      Serat Wulang Reh
Wulang Reh atau Serat Wulangreh adalah karya sastra berupa tembang macapat karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV, Raja Surakarta, yang lahir pada 2 September1768. Dia bertahta sejak 29 November1788 hingga akhir hayatnya pada 1 Oktober1820.
Naskah Wulang Reh saat ini disimpan di Museum Radya Pustaka di SurakartaKata Wulang bersinonim dengan kata pitutur memiliki arti ajaran. Kata Reh berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya jalan, aturan dan lakucara mencapai atau tuntutan. Wulang Reh dapat dimaknai ajaran untuk mencapai sesuatu. Sesuatu yang dimaksud dalam karya ini adalah laku menuju hidup harmoni atau sempurna.laku adalah langkah atau cara mencapai karakter mulia bukan ilmu dalam arti ilmu pengetahuan semata, seperti yang banyak kita jumpai pada saat ini. Lembaga pendidikan lebih memfokuskan pengkajian ilmu pengetahuan dan mengesampingkan ajaran moral dan budipekerti.[5]
b.      Serat Wedhatama
Serat Wedhatama adalah sebuah karya sastra Jawa Baru yang bisa digolongkan sebagai karya moralistis-didaktis yang sedikit dipengaruhi Islam. Karya ini secara formal dinyatakan ditulis oleh KGPAAMangkunegara IV. Walaupun demikian didapat indikasi bahwa penulisnya bukanlah satu orang
Serat ini dianggap sebagai salah satu puncak estetika sastra Jawa abad ke-19 dan memiliki karakter mistik yang kuat. Bentuknya adalah tembang, yang biasa dipakai pada masa itu.Isinya adalah merupakan falsafah kehidupan, seperti hidup bertenggang rasa, bagaimana menganut agama secara bijak, menjadi manusia seutuhnya, dan menjadi orang berwatak ksatria.[6]
c.       Serat Wirid Hidayat Jati
Gambaran umum dan garis besar isi serat Wirid Hidayat Jati ini sebagaimana Damogandhul dan Gatholoco dipergunakan oleh Prof. Dr. H. M. RRasasyidi untuk menggambarkan apa yang dinamakan Aliran Kebatinan. Jadi dijadikan sampel yang mewakili aliran Kebatinan. Sedang Dr. Harun. Hadiwijono menganggapnya sebagai wakil kebatinan Jawa Abad 19. Dan maksud dari kebatinan jawa disini ialah mistikisme. Dr. Harun Hadiwijono menamakannya sebagai Kebatinan Jawa Abad Sembilan Belas.
Serat Wirid Hidayat Jati merupakan salah satu dari sekian banyak hasil karya pujangga masyhur kraton Surakarta Raden Ngabehi Rongggowarsito. Tulisan ini disempurnakan atau diselesaikan penulisnya pada tahun Jawa 1791 atau tahun 1862 yang ditulis dalam bahasa Jawa karma gancaran (prosa) yang halus dan indah dengan tulisan huruf Jawa. Kemudian dibangun kembali diantaranya oleh R. Tanoyo yang menyadari dengan dilatinkan, maka mudah membacanya walaupun belum pasti mudah pula mengambil pengertiannya. Ada juga orang lain yang mengubah ke dalam huruf latin, yaitu Honggopradoto.[7]
d.      Kitab Darmogandul
Banyak versi yang menjelaskan tentang kitab Darmogandul, terutama tentang jati diri orang yang menulis kitab tersebut dan kapan kitab tersebut ditulis. Ada sebagian kalangan yang menyatakan bahwa kitab tersebut ditulis oleh Ki Kalamwadi yang mempunyai guru bernama Raden Budi Sukardi. Ki Kalamwadi ini mempunyai murid yang bernama Darmo Gandhul. Nama dari muridnya inilah yang kemudian menjadi nama kitabnya. Dalam versi itu juga disebutkan bahwa kitab ini ditulis pada tahun 1478 M, yakni ketika kerajaan Majapahit masih berdiri.
Namun versi lain mengatakan bahwa kitab tersebut ditulis oleh Darmogandul sendiri. Ada juga yang perbaya bahwa kitab tersebut adalah hasil tulisan pujangga Jawa terkenal Ronggowarsito. Tapi yang pasti, kitab tersebut memang benar-benar ada. Isinya sangat disakralkan oleh sebagian orang, terutama oleh para penganut kepercayaan. Lebih lanjut, para penganut kepercayaan ini me-namakan diri sebagai penganut ajaran Darmogandul. Pada umumnya, kitab Darmogandul ini banyak menceritakan tentang fenomena keagamaan saat itu, yakni saat Majapahit memimpin nusantara. Tentu saja, agama-agama yang disinggung saat itu adalah Budha, Hindu, dan Islam.
e.       Kitab Gatoloco
Adapun “kitab suci” aliran kebatinan yang mirip dengan Darmogandul adalah Gatoloco. Kitab ini diperkirakan sudah ada pada abad ke 19 M. Gatoloco sendiri adalah nama tokoh utama dari kitab tersebut. Dia digambarkan memiliki wajah dan penampilan yang buruk. Orangnya kerdil, tidak memiliki mata, hidung, dan telinga. Gambaran Suluk gatholoco ini pengarangnya sulit ditentukan, karena keterangan yang terdapat di dalam versi-versinya memberikan informasi yang berbeda-beda. Versi terbitan Tan koen Swie Kediri, memyebutkan Kaimpun dening Raden Soewandi, yang lain mengatakan bahwa suluk ini disusun oleh seorang yang bernama Soeryanegara. Yang lain lagi mengatakan pengarangnya Raden Ngabehi Ranggawarsitama. Ada sarjana yang hanya berani mengatakan bahwa pengarangnya adalah seorang bangsawan tinggi Kediri. Namun yang jelas Suluk Gatholoco banyak dikenal masyarakat. Prof. Dr.H.M. Rasyidi menjadikannya menjadi sampel dari apa yang dinamakan aliran kebatinan, walaupun tidak tepat benar, karena kemistikannya tidak sejelas Serat Dewa Ruci. Karena banyak dikenal masyarakat Jawa, maka tidak mustahil isi, ajaran serta kepercayaan yang terdapat di dalamnya memang merupakan kepercayaan atau pandangan hidup sebagian masyarakat Jawa.[8]
5.        Interaksi Kepercayaan Orang Jawa dengan Agama-Agama Lain
Cara pandang secara umum tentang kebudayaan Jawa. Jawa diasumsikan memiliki akar kepercayaan arkhaik yang khas sebelum kedatangan agama-agama. Animisme dan dinamisme adalah sepasang kepercayaan yang kerap dilekatkan guna menjelaskan kepercayaan asli masyarakat Jawa. Masuknya Hindu, Budha dan Islam mendorong terciptanya kebudayaan Jawa yang beranasir lebih kompleks. Masuknya ketiga agama tersebut kedalam masyarakat Jawa tidak serta merta menghilangkan citarasa dan bentuk pengagungan yang sebelumnya digunakan dalam kepercayaan arkhaik masyarakat Jawa. Kesetiap kepercayaan meninggalkan sisa-sisa —lebih tepatnya menggunakan kata etos— dalam masyarakat, baik agama arkahik, Hindu dan Budha.
Pandangan umum tentang Jawa telah sampai pada kesimpulan bahwa Interaksi cukup kuat antar agama-agama yang masuk ke Jawa menciptakan bentuk keislaman yang tidak lagi murni dan terbebas dari unsur-unsur yang tidak Islami, atau ;lebih tepatnya tetap dipengaruhi secara dominan oleh anasir agama sebelumnya.Pandangan lain yang cukup terkenal adalah pandangan dikotomis yang dimunculkan oleh Clifford Geerzt dalam Religion of Java yang mengkalisfikasikan masyarakat Jawa kedalam tiga kategori besar; Santri, Abangan dan Priyayi.
Santri adalah yang dianggap Geerzt sebagai yang paling islami dalam struktur masyarakat Jawa. Santri adalah kelompok yang mampu merepresentasikan agama secara benar berdasarkan tatanan syariah. Sementara kelompok priyayi merepresentasikan tradisi mistik yang lebih diyakini sebagaio warisan dari keagamaan Hindu dan Budha sebelum Islam. kelompok abangan adalah kelompok yang dapat disebut sebagai kelompok yang secara konsisten mempertahankan kepercayaan-kepercayaan lokal yang telah menjadi tradisi sejak nenek moyang masyarakat Jawa —animisme. Ekstremnya, dalam tesis ini Geerzt memandang bahkan santri sebagai representasi kelompok bergama masyarakat Jawa yang paling Islami masih sangat dipengaruhi oleh kekuatan kepercayaan Hindu dan Budha yang telah terlebih dahulu melekat pada kebudayaan masyarakat Jawa.[9]



[1] Abdul Jamil dkk.,Islam Dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta:Gama Media.2002).h. 17.
[2]Zain Mukhtarom,Islam Di Jawa Dalam Prespektif Santri Dan Abangan, (Jakarta:Salembah Diniyah.2002).h. 24.
[3]Dikutip dari http://religi.wordpress.com pada 16 Mar. 16
[4]Clifford Geertz. Abangan,Santri,Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. (Jakarta:Pustaka Jaya.Cet.II,1983). h. 32.
[5]https://id.wikipedia.org/wiki/Wulang_Rehdiakses pada tanggal 10 Maret 2015
[6]Drs. Romdon, MA. Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan. (Jakarta: PT. Grafindo Persada. Cet.1,1996). h.69
[7]Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. (Jakarta: UI Press. Cet.1,1988). h. 69.
[8]Drs. Romdon, MA. Ibid, h. 110
                                                                                                                                                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar