Suku Kei
(Maluku)
A.
Asal-usul & Letak geografis Suku Kei
Kabupaten
Maluku Tenggara menurut Astronomi terletak antara : 5º sampai 6,5º Lintang
Selatan dan 131º sampai 133,5º Bujur Timur.
Adapun
letaknya menurut Geografis dibatasi antara lain oleh :
Sebelah Selatan : Laut Arafura
Sebelah Utara : Irian Jaya Bagian Selatan,
Wilayah Kota Tual.
Sebelah Timur : Kepulauan Aru
Sebelah Barat : Laut Banda dan bagian Utara
Kepulauan Tanimbar.
Luas
Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara ± 7.856,70 Km², dengan luas daratan ±
4.676,00 Km² dan luas perairannya ± 3.180,70 Km².
Kabupaten
Maluku Tenggara hanya terdiri atas 1 Gugusan Kepulauan yaitu: Gugusan Kepulauan
Kei yang terdiri atas Kepulauan Kei Kecil dengan Luas seluruhnya 722,62 Km² dan
Pulau Kei Besar dengan Luas 550,05 Km². Dengan jumlah Pulau tersebut sebanyak
25 buah pulau.
Secara
Topografi Pulau Kei Kecil, dengan ketinggian ± 100 M diatas permukaan laut.
Beberapa Bukit rendah di Tengah dan Utara mencapai 115 M. Pulau Kei Besar
berbukit dan bergunung yang membujur sepanjang pulau dengan ketinggian
rata-rata 500 - 800 M dengan Gunung Dab sebagai puncak tertinggi, dataran
rendah merupakan jalur sempit sepanjang pantai.
Menurut
peta Geologi Indonesia [1965], Pulau / Kepulauan di Maluku Tenggara terbentuk /
tersusun dari tanah dan batuan yang tercatat sebanyak 3 jenis Tanah dan 5 jenis
Batuan.[1]
Suku bangsa Kei ini
mendiami Kepulauan Kei di
Laut Arafuru, yang terdiri atas Pulau Nuhucut, Nuhurowa, Kaidullah, Toyandu,
Walir dan sejumlah pulau lebih kecil di sekitarnya. Kepulauan ini terbagi
menjadi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kei Besar dan Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku.
Mereka juga mendiami sebagian pulau-pulau di Kepulauan
Aru dan Tanimbar. Jumlah populasinya sekitar 35.000 jiwa, termasuk yang menetap
di berbagai tempat di pesisir Pulau Papua dan Maluku Tengah. Bahasa Kei sekerabat dengan bahasa
Fordata yang di gunakan oleh orang Tanimbar. Daratan di Kecamatan Kei Kecil sebagian besar merupakan
dataran rendah dan sisanya berupa tanah berbukit dengan ketinggian rata-rata
100 meter di atas permukaan laut. Sebaliknya daratan di wilayah Kecamatan Kei besar terdiri dari tanah
berbukit-bukit dan sedikit dataran rendah dengan ketinggian antara 500-800
meter di atas permukaan laut.
Orang Kei sendiri
suka menyebut dirinya Evav, artinya "pulau babi". Pendapat
lain mengatakan bahwa "Kei" berasal dari bahasa Portugis kayos
yang artinya "keras". Mungkin karena pulau-pulau tersebut
terbentuk dari batu-batu karang, dan ditumbuhi pula oleh jenis-jenis kayu yang
keras. Catatan-catatan prasejarah menunjukkan bahwa Kepulauan Kei pada masa lampau dikunjungi
oleh pelaut asing. Bukti-bukti prasejarah sendiri menunjukkan bahwa kepulauan
ini pernah dihuni oleh manusia-manusia berkebudayaan sama seperti di Australia
bagian utara. Ada pula sisa-sia peninggalan manusia berkebudayaan peralihan
dari daratan Asia, antara lain dengan ditemukannya nekara dan kapak upacara
dari perunggu di Kepulauan itu.
B. Sistem kepercayaan suku Kei
Menurut Yong
Ohoitimur, agama asli di Kei pada dasarnya mengandung unsur-unsur: Animisme,
Magi, dan Totemisme. Animisme berasal dari perkataan latin, anima artinya
“nyawa” Dari asal kata ini, nyawa bisa diartikan sebagai roh. Jadi animisme
dapat didefinisikan sebagai kepercayaan akan adanya roh-roh yang memasuki
benda-benda di dalam alam semesta, misalnya pohon, hutan, batu, air, dan
sebagainya. Istilah animisme, peratama kali dikemukakan oleh Edward Tylor,
melalui bukunya Primitive Culture (1871). Baginya bentuk agama yang
paling awal adalah the beliefe in spiritual being. Dalam visi Tylor
mengenai evolusi agama, disamping arwah-arwah dan makhluk-makhluk halus itu,
muncul dewata; kemudian diantara para dewata itu salah satunya muncul sebagai
dewa atau Tuhan yang terbesar, dan akhirnya dewata yang lain tidak diakui lagi.
Dalam konteks
masyarakat Kei, terdapat kepercayaan bahwa semua benda di alam semesta
memiliki roh. Roh dalam bahasa Kei disebut Duan. Duan
dianggap menetap dalam segala benda. Dalam perkembangan, ketika masuknya agama
Kristen, Duan itu kemudian mengalami sedikit perubahan dalam
penyebutannya menjadi Duad, yang lebih bermakna Tuhan Allah – yang
mengalahkan/mendominasi duan-duan lain. Wujud dari animisme dalam
masyarakat Kei sampai saat sekarng masih dapat teramati dalam betuk pemberian
persembahan (daun siri, buah pinang, tembakau, dan uang logam), yang diisi
dalam piring dan diletakan dibawah pohon atau tempat-tempat yang dianggap
keramat.
Sedangkan “Magi”
dalam agama lokal adalah suatu cara berpikir atau cara hidup, yang mempunyai
arti lebih tinggi daripada apa yang diperbuat oleh seorang ahli sihir sebagai
perseorangan. Kata magi juga digunakan untuk mengartikan usaha-usaha manusia
menguasai benda-benda dan orang lain dengan cara gaib. Menurut keyakinan orang,
kemampuan bekerja secara gaib pertama-tama terletak dalam suatu pertalian yang
erat antara pelaku magi itu dengan roh-roh halus – duan, setan atau
dewa-dewa. Orang Kei percaya bahwa baik manusia maupun makhluk lain memiliki
keahlian (dalam makna duan). Roh itu selalu berusaha mengambil bagian
dalam kehidupan manusia dan sebaliknya, maka orang Kei percaya bahwa ia mampu
memiliki keahlian untuk mempengaruhi roh manusia/makhluk lain. Pengaruh manusia
terhadap roh lain terjadi pada dunia gaib, tidak kelihatan, namun menggunakan
benda-benda duniawi. Misalnya seseorang menggunakan sebuah batu (atau suatu
benda tertentu), yang mempengaruhi orang lain sampai sakit, atau bahkan sampai
meninggal dunia.
Selanjutnya,
dalam sistem kepercayaan orang Kei terdapat juga model Totemisme. Totemisme
adalah sejenis roh pelindung manusia yang berwujud binatang.Dalam realitas
hidup masyarakat Kei, sebagai contoh masyarakat Ohoifau meyakini Ikan Puring
sebagai Totemnya, orang Ohoidertutu menerima penyu sebagai totemnya, bahkan fam/marga
tertentu juga memiliki totem sendiri, dan sebagainya. Orang Kei percaya ada
hubungan khusus antara obyek-obyek tertentu, seperti: ikan, burung, tumbuhan,
dan sebagainya dengan dunia ilahi. berdasarkan keyakinan seperti ini, orang
Kei menyebut ikan suci, rumput suci, burung suci, dan sebagainya. Terhadap
obyek suci itu orang harus menghormatinya.
Demikianlah
menjadi jelas beberapa bentuk asli dari praktek hubungan antara dunia nyata dan
dunia ilahi seperti terdapat dalam kehidupan orang Kei. Benang merah yang dapat
ditarik dari ketiga unsur di atas adalah bahwa orang Kei masih mengakui adanya
suatu kekuasaan ilahi yang sakral di luar yang profan. Sebagian ritus-ritus di
atas hanya kemukakan sebagai contoh, untuk menggambarkan bahwa masuknya
agama-agama dunia di Kei, tidak serta-merta menhilangkan kepercayaan atau agama
suku dari masyarakat tersebut
C.
Budaya Kei dan Kekristenan: kenyataan yang dapat
disejajakan.
Hukum adat dan nilai-nilai kekeluargaan
yang dimiliki masyarakat Kei sejak dahulu sebenarya memiliki kualitas dan
keampuhan untuk tetap menjaga persatuan dalam relasi yang majemuk. Setiap
kehidupan dan kegiatan didasarkan pada hukum adat memberi peluang kepada setiap
individu untuk tunduk kepadanya dan percaya bahwa hukum yang ada merupakan
sesuatu yang sacral dan punya kekuatan. Hukum adat dapat menjamin hak-hak
asasi, harkat dan martabat manusia, adanya penghargaan yang tinggi teradap
individu, kelompok, dan nilai hidup manusia. Pribadi manusia itu mulia dan
agung, memiliki kualitas dan keunikan masing-masing.
Budaya Kei pada dasarnya memiliki
kesejajaran dengan nilai-nilai kekeristenan. Misalnya, nilai cinta kasih,
damai, persaudaraan, suka-cita, solidaritas, dan saling menghargai orang lain
tanpa membedakan suku, agama, dan golongan. Nilai kekristenan hendak menunjukan
bahwa persaudaraan lebih baik dari pada balas dendam, cinta kasih lebih baik
dari pada kebencian. Kekristenan lewat institusinya (gereja) memberi perhatian
besar terhadap nilai-nilai kemanusiaan terutama mereka yang miskin, menderita,
tertindas, tersingkir, sakit dan mereka yang kecil. Gereja menyadarkan manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbatas. Untuk itu manusia harus saling
membantu, menghargai, solider, terbuka dalam membangun persatuan, kekeluargaan
dan persaudaraan sejati dengan Allah dan sesama. Dengan demikian kita dapat
mengenal diri kita sendiri sebagai peserta dalam satu komunitas dunia yang
meliputi semua agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar