Kamis, 09 Juni 2016

Profil Suku Kei (Maluku)



Suku Kei (Maluku)
A.    Asal-usul & Letak geografis Suku Kei
Kabupaten Maluku Tenggara menurut Astronomi terletak antara : 5º sampai 6,5º Lintang Selatan dan 131º sampai 133,5º Bujur Timur.
Adapun letaknya menurut Geografis dibatasi antara lain oleh :
    Sebelah Selatan : Laut Arafura
    Sebelah Utara : Irian Jaya Bagian Selatan, Wilayah Kota Tual.
    Sebelah Timur : Kepulauan Aru
    Sebelah Barat : Laut Banda dan bagian Utara Kepulauan Tanimbar.
Luas Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara ± 7.856,70 Km², dengan luas daratan ± 4.676,00 Km² dan luas perairannya ± 3.180,70 Km².
Kabupaten Maluku Tenggara hanya terdiri atas 1 Gugusan Kepulauan yaitu: Gugusan Kepulauan Kei yang terdiri atas Kepulauan Kei Kecil dengan Luas seluruhnya 722,62 Km² dan Pulau Kei Besar dengan Luas 550,05 Km². Dengan jumlah Pulau tersebut sebanyak 25 buah pulau.
Secara Topografi Pulau Kei Kecil, dengan ketinggian ± 100 M diatas permukaan laut. Beberapa Bukit rendah di Tengah dan Utara mencapai 115 M. Pulau Kei Besar berbukit dan bergunung yang membujur sepanjang pulau dengan ketinggian rata-rata 500 - 800 M dengan Gunung Dab sebagai puncak tertinggi, dataran rendah merupakan jalur sempit sepanjang pantai.
Menurut peta Geologi Indonesia [1965], Pulau / Kepulauan di Maluku Tenggara terbentuk / tersusun dari tanah dan batuan yang tercatat sebanyak 3 jenis Tanah dan 5 jenis Batuan.[1]
 Suku bangsa Kei ini mendiami Kepulauan Kei di Laut Arafuru, yang terdiri atas Pulau Nuhucut, Nuhurowa, Kaidullah, Toyandu, Walir dan sejumlah pulau lebih kecil di sekitarnya. Kepulauan ini terbagi menjadi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kei Besar dan Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku.
Mereka juga mendiami sebagian pulau-pulau di Kepulauan Aru dan Tanimbar. Jumlah populasinya sekitar 35.000 jiwa, termasuk yang menetap di berbagai tempat di pesisir Pulau Papua dan Maluku Tengah. Bahasa Kei sekerabat dengan bahasa Fordata yang di gunakan oleh orang Tanimbar. Daratan di Kecamatan Kei Kecil sebagian besar merupakan dataran rendah dan sisanya berupa tanah berbukit dengan ketinggian rata-rata 100 meter di atas permukaan laut. Sebaliknya daratan di wilayah Kecamatan Kei besar terdiri dari tanah berbukit-bukit dan sedikit dataran rendah dengan ketinggian antara 500-800 meter di atas permukaan laut.
Orang Kei sendiri suka menyebut dirinya Evav, artinya "pulau babi". Pendapat lain mengatakan bahwa "Kei" berasal dari bahasa Portugis kayos yang artinya "keras". Mungkin karena pulau-pulau tersebut terbentuk dari batu-batu karang, dan ditumbuhi pula oleh jenis-jenis kayu yang keras. Catatan-catatan prasejarah menunjukkan bahwa Kepulauan Kei pada masa lampau dikunjungi oleh pelaut asing. Bukti-bukti prasejarah sendiri menunjukkan bahwa kepulauan ini pernah dihuni oleh manusia-manusia berkebudayaan sama seperti di Australia bagian utara. Ada pula sisa-sia peninggalan manusia berkebudayaan peralihan dari daratan Asia, antara lain dengan ditemukannya nekara dan kapak upacara dari perunggu di Kepulauan itu.
B.     Sistem kepercayaan suku Kei
Menurut Yong Ohoitimur, agama asli di Kei pada dasarnya mengandung unsur-unsur: Animisme, Magi, dan Totemisme. Animisme berasal dari perkataan latin, anima artinya “nyawa” Dari asal kata ini, nyawa bisa diartikan sebagai roh. Jadi animisme dapat didefinisikan sebagai kepercayaan akan adanya roh-roh yang memasuki benda-benda di dalam alam semesta, misalnya pohon, hutan, batu, air, dan sebagainya. Istilah animisme, peratama kali dikemukakan oleh Edward Tylor, melalui bukunya Primitive Culture (1871). Baginya bentuk agama yang paling awal adalah the beliefe in spiritual being. Dalam visi Tylor mengenai evolusi agama, disamping arwah-arwah dan makhluk-makhluk halus itu, muncul dewata; kemudian diantara para dewata itu salah satunya muncul sebagai dewa atau Tuhan yang terbesar, dan akhirnya dewata yang lain tidak diakui lagi.

Dalam konteks masyarakat Kei,  terdapat kepercayaan bahwa semua benda di alam semesta memiliki roh. Roh dalam bahasa Kei disebut Duan. Duan dianggap menetap dalam segala benda. Dalam perkembangan, ketika masuknya agama Kristen, Duan itu kemudian mengalami sedikit perubahan dalam penyebutannya menjadi Duad, yang lebih bermakna Tuhan Allah – yang mengalahkan/mendominasi duan-duan lain. Wujud dari animisme dalam masyarakat Kei sampai saat sekarng masih dapat teramati dalam betuk pemberian persembahan (daun siri, buah pinang, tembakau, dan uang logam), yang diisi dalam piring dan diletakan dibawah pohon atau tempat-tempat yang dianggap keramat.
Sedangkan “Magi” dalam agama lokal adalah suatu cara berpikir atau cara hidup, yang mempunyai arti lebih tinggi daripada apa yang diperbuat oleh seorang ahli sihir sebagai perseorangan. Kata magi juga digunakan untuk mengartikan usaha-usaha manusia menguasai benda-benda dan orang lain dengan cara gaib. Menurut keyakinan orang, kemampuan bekerja secara gaib pertama-tama terletak dalam suatu pertalian yang erat antara pelaku magi itu dengan roh-roh halus – duan, setan atau dewa-dewa. Orang Kei percaya bahwa baik manusia maupun makhluk lain memiliki keahlian (dalam makna duan). Roh itu selalu berusaha mengambil bagian dalam kehidupan manusia dan sebaliknya, maka orang Kei percaya bahwa ia mampu memiliki keahlian untuk mempengaruhi roh manusia/makhluk lain. Pengaruh manusia terhadap roh lain terjadi pada dunia gaib, tidak kelihatan, namun menggunakan benda-benda duniawi. Misalnya seseorang menggunakan sebuah batu (atau suatu benda tertentu), yang mempengaruhi orang lain sampai sakit, atau bahkan sampai meninggal dunia.
Selanjutnya, dalam sistem kepercayaan orang Kei terdapat juga model Totemisme. Totemisme adalah sejenis roh pelindung manusia yang berwujud binatang.Dalam realitas hidup masyarakat Kei, sebagai contoh masyarakat Ohoifau meyakini Ikan Puring sebagai Totemnya, orang Ohoidertutu menerima penyu sebagai totemnya, bahkan fam/marga tertentu juga memiliki totem sendiri, dan sebagainya. Orang Kei percaya ada hubungan khusus antara obyek-obyek tertentu, seperti: ikan, burung, tumbuhan, dan sebagainya dengan dunia ilahi. berdasarkan keyakinan seperti ini, orang Kei menyebut ikan suci, rumput suci, burung suci, dan sebagainya. Terhadap obyek suci itu orang harus menghormatinya.
Demikianlah menjadi jelas beberapa bentuk asli dari praktek hubungan antara dunia nyata dan dunia ilahi seperti terdapat dalam kehidupan orang Kei. Benang merah yang dapat ditarik dari ketiga unsur di atas adalah bahwa orang Kei masih mengakui adanya suatu kekuasaan ilahi yang sakral di luar yang profan. Sebagian ritus-ritus di atas hanya kemukakan sebagai contoh, untuk menggambarkan bahwa masuknya agama-agama dunia di Kei, tidak serta-merta menhilangkan kepercayaan atau agama suku dari masyarakat tersebut
C.     Budaya Kei dan Kekristenan: kenyataan yang dapat disejajakan.
Hukum adat dan nilai-nilai kekeluargaan yang dimiliki masyarakat Kei sejak dahulu sebenarya memiliki kualitas dan keampuhan untuk tetap menjaga persatuan dalam relasi yang majemuk. Setiap kehidupan dan kegiatan didasarkan pada hukum adat memberi peluang kepada setiap individu untuk tunduk kepadanya dan percaya bahwa hukum yang ada merupakan sesuatu yang sacral dan punya kekuatan. Hukum adat dapat menjamin hak-hak asasi, harkat dan martabat manusia, adanya penghargaan yang tinggi teradap individu, kelompok, dan nilai hidup manusia. Pribadi manusia itu mulia dan agung, memiliki kualitas dan keunikan masing-masing.
Budaya Kei pada dasarnya memiliki kesejajaran dengan nilai-nilai kekeristenan. Misalnya, nilai cinta kasih, damai, persaudaraan, suka-cita, solidaritas, dan saling menghargai orang lain tanpa membedakan suku, agama, dan golongan. Nilai kekristenan hendak menunjukan bahwa persaudaraan lebih baik dari pada balas dendam, cinta kasih lebih baik dari pada kebencian. Kekristenan lewat institusinya (gereja) memberi perhatian besar terhadap nilai-nilai kemanusiaan terutama mereka yang miskin, menderita, tertindas, tersingkir, sakit dan mereka yang kecil. Gereja menyadarkan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbatas. Untuk itu manusia harus saling membantu, menghargai, solider, terbuka dalam membangun persatuan, kekeluargaan dan persaudaraan sejati dengan Allah dan sesama. Dengan demikian kita dapat mengenal diri kita sendiri sebagai peserta dalam satu komunitas dunia yang meliputi semua agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar