Agama Tradisional Orang Trunyan di
Bali
A. Asal Usul suku Trunyan atau Bali
Aga
Trunyan berasal dari kata Taru Menyan, Taru yang berarti pohon dan Menyan
berarti wangi atau harum yang sekarang ini menjadi pohon besar yang menjadi
perkuburan adat masyarakat Trunyan. Pohon ini dipercaya mempunyai wangi yang
semerbab yang membuat jenazah-jenazah yang diletakkan di sekitar pohon tersebut
tidak mengeluarkan bau menyengat. Semuai itu dimulai dari kisah dahulu di
kerajaan Surakarta di pulau jawa, tercium bau harum yang berhasil menarik
perhatian dari 4 bersudara, pangeran dan putri kerajaan Surakarta. Bau harum
tersebut telah berhasil menarik perhatian 4 bersaudara tersebut untuk
memutuskan pergi mengembara, mereka terdiri dari 3 orang pangeran dan 1 orang
putri.
Menurut penelitian oleh Jemes D, untuk mengetahui
sejarah Desa Trunyan sulit sekali. Semua itu disebabkan karena peninggalannya
berupa tulisan yang hanya berupa beberapa prasasti, yang kini disimpan di pelinggih (bangunan suci tempat
persemayaman dewa). Desa Trunyan, Kedisan, dan desa Abang Dukuh ketiga desa ini
terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupateng Bungli Provinsi Bali. Terkait
dengan tiga desa tersebut karena mempunyai cerita yang runtut dalam
pembentukannya, yang di ceritakan dari pengembaraan empat orang putra Raja
Surakarta ke Bali untuk mencari bau harum yang menyengat. Namun disini akan
lebih dijelaskan bagaimana desa Trunyan di Provinsi Bali tersebut.[1]
Masyarakat
Bali Aga adalah kelompok masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan dan
merupakan masyarakat yang sulit ditundukkan pada saat Kerajaan Majapahit
menguasai Bali. Kesulitan Majapahit dalam menundukkan Bali karena mendapat
perlawanan dari masyarakat Bali Aga yang dapat dirasakan oleh Raja Sri Kresna
Kapakisan, yang ditempatkan oleh Gajah Mada untuk memerintah di Bali.[2]
B.
Mite,
Adat Kebudayaan dan Ritual
1. Mite
Tentang Dewi yang Turun Dari Langit
Dahulu
ada seorang dewi yang terpesona dengan bau harum, yang datang dari suatu tempat
di bumi yang telah turun dari langit untuk mencari sumber bau harum itu.
Setelah mencari-cari beberapa waktu lamanya akhirnya berhasil menemukan. Sumber
harum itu ternyata berasal dari pohon Taru Menyan, sejak itu tempat itu
dinamakan Trunyan. Akhirnya sang Dewi memutuskan untuk tinggal disana. Pada
suatu hari, karena marah akibat diamat-amati oleh matahari. Kemudian ia
menghina sang Surya dengan cara melihatkan alat kelamin dan menunggingkan ke
arahnya. Sebagai akibat perbuatannya, sang Dewi mengandung secara gaib serta
melahirkan sepasang anak kembar berlainan jenis kelamin. Anak yang lahir
terdahulu adalah sebuah banci, dan yang kedua seorang perempuan. Setelah
anak-anaknya tumbuh dewasa sang Dewi kembali ke kayangan, dan kedua
kakak-beradik itu hidup sendiri di Trunyan.[3]
2. Adat
Kebudayaan di suku Trunyan
Berikut
data yang dapat kami paparkan tentang beberapa adat kebudayaan yang terdapat di
suku Trunyan. Sebagai berikut:
a. Arsitek
Adat Desa Trunyan
Letak Desa Trunyan berada di seblah
timur danau Batur, maka orientasi masa-masa bangunannya mengarah ke danau juga.
Dalam filosofi bangunan Bali Aga, bangunannya mengarah ke dataran rendah, dalam
hal ini adalah danau itu sendiri, sedangkan belakangnya berupa pegunungan. Pola
desanya berbentuk grid karena bangunannya kearah danau, sehingga disepanjang
pesisir bangunannya menghadap ke arah danau.
Untuk arsitek yang berada di Desa
Trunyan sangat berbeda dengan arsitektur-arsitektur ditempat lain. Jika
ditempat lain dalam satu pekarangan hanya terdapat satu kepala keluarga akan
tetapi berbeda dengan desa Trunyan dimana di dalam satu pekarangan terdapat
banyak kepala keluarga dimana dalam satu kepala keluarga memiliki satu bangunan
atau rumah dalam satu pekarangan tersebut. Rumah tersebut dinamai bale saka
roras, dimana dalam satu bangunan terdapat beberapa ruangan yang disesuaikan
dengan pembagian dari saka-saka tersebut. Di dalam ruang tersebut semua
kegiatan dilakukan di dalam ruangan. Mulai dari memasak, makan dan tidur serta
berkumpul dengan keluarga.[4]
Di desa Trunyan itu di dalam satu
pekarangan terdapat banyak kepala keluarga dimana dalam satu kepala keluarga
memiliki satu bangunan atau rumah dalam satu pekarangan tersebut. Rumah
tersebut dinamai bale saka roras, dimana dalam satu bangunan terdapat beberapa
ruangan yang disesuaikan dengan pembagian dari saka-saka tersebut. Di dalam
ruang tersebut semua kegiatan dilakukan di dalam ruangan. Mulai dari memasak,
makan dan tidur serta berkumpul dengan keluarga.
Desa Trunyan memiliki pemakaman yang
unik, yang berbeda dengan Bali pada umumnya, yang dikenal dengan Ngaben. Namun,
ini berbeda halnya dengan suku Trunyan. Orang yang meninggal bukan dibakar atau
dimakamkan, melainkan dibiarkan membusuk ditanah membentuk cekungan panjang.
a. Pementasan
Barong Brutuk
Wajah
barongnya menggunakan seperti topeng
primitive, dipakaikan kepada seorang remaja dengan pakaian dari daun pisang
kering. Tokoh pada
Barong Brutuk seseorang berfungsi sebagai raja, kemudian ratu, kakak sang ratu
dan patih, selebihnya menjadi anggota biasa (unen-unen), dipentaskan pada siang
hari, tepat saat mulai odalan di Pura Pancering Jagat , upacara odalan tersebut
biasannya selama tiga hari berturut-turut. Dalam ritual desa
Trunyan yang membedakan dengan ritual suku-suku yang ada di Bali hanya dilihat
dari bentuk pemakamannya. Umumnya dikubur atau dengan Ngaben tapi di Trunyan
hanya diletakkan di bawah pohon saja.[5]
C.
Religi,
Tempat dan Upacara Keagamaan
Religi dalam suku Trunyan ini adalah kepercayaan
berlandaskan kepada pemujaan roh leluhur, yakni tentang adanya roh lainnya di
alam sekeliling tempat tinggal, sehingga perlu untuk dipuja (animisme).
Adapun
upacara keagamaan dalam suku Trunyan yaitu:
1. Dewa Yadnya, biasa disebut dengan Odalan, yang bertujuan untuk mengambil hati dewa
yang diupacarakan. Hampir setiap bulan ada upacara ini. Salah satunya adalah
upacara Saba Gede yang dilakukan pada saat Tilem Kesanga dan Odalan
Ratu Pingit Dalem pada saat purnama Sadha.
2. Pitra
Yadnya, upacara yang dilakukan untuk para leluhur dan
para kerabat, apabila ada kematian.
3. Resi Yadnya,
upacara yang dilakukan untuk pentahbisan pendeta.
4. Buta Yadnya, Upacara yang dilakukan untuk para buta kala, biasanya juga dengan
Mercaru.
5. Manusia
Yadnya, upacara yang dilakukan untuk manusia yang
masih hidup. Misalnya upacara ulang tahun otonan yang berlangsung enam bulan
sekali.
D.
Upacara
Kematian dan Pemakaman Trunyan
Terkait dengan kepercayaan orang Trunyan
mengenai kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
1.
Mepasah (meletakkan jenazah
diatas tanah dibawah udara terbuka), orang-orang yang dimakamkan dengan cara
mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah
berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi
susunya telah tanggal.Jumlah liang lahat di area kuburan utama ada sekitar 7
ancak saji atau liang yang digunakan secara bergantian untuk tiap jenasah. Jika
semua liang terisi, sementara ada warga yang harus dimakamkan, maka salah satu
rangka jenasah dalam liang harus diangkat dan diletakkan di sekitar liang.
2.
Dikubur/dikebumikan,
orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat
tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya
terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang
yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur.
Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.
E.
Interaksi
Kepercayaan Orang Trunyan Dengan Agama-agama Lain
Dinamika budaya serta perubahan sosial di Trunyan juga menjadi salah satu bukti
interaksi Trunyan terhadap agama-agama lain. Letak Trunyan yang terpencil dari
kehidupan orang bali pada umumnya, dan bangsa Indonesia pada lainnya. Biarpun
seperti itu desa ini telah lama menjadi perhatian orang luar, terutama dalam
penyebaran agama Hindu disana, yang mayoritas di anaut oleh masyarakat Bali.
Persentuhan desa Trunyan dengan budaya luar, sebenarnya sudah mulai sejak lama.
Namun persentuhan tersebut sebatas pada Hindu Bali saja. Setelah itu,
persentuhan yang dibawa dari masa kolonialisasi baik budaya Asia, seperti Jawa,
India dan Cina, ternyata tidak berdampak begitu berarti pada perkembangan
kepercayaan. Mereka dengan teguh tetap berusaha melestarikan kebudayaan yang
dimiliki. Apalagi dewasa ini, Bali secara keseluruhan telah dikenal di mata
Internasional menjadi salah satu tujuan wisata. Selain karena keindahan alam
laiknya sentuhan agung Tuhan surgawi, juga karena keteguhan penduduknya akan
tradisi keagamaan, yang lebih dikenal sebagai “Pulau Dewata”.
Dukungan dari pemerintahan untuk pariwisata seperti
ini yang menyebabkan tradisi budaya lokal terus digalakan perkembangannya.
Dewasa ini, pertumbuhan pembangunan modern sudah sangat nampak di daerah
Trunyan. Pembangunan hotel, villa, restoran serta tempat peristirahatan lainnya
berkembang pesat. Disamping itu, pembangunan kuil sesembahan, tempat pemujaan
juga banyak dibangun. Meski sepertinya ada sangat besar pergeseran nilai yang
terjadi seperti pergeseran kehidupan pertanian ke sektor pariwisata, namun
pelestarian kebudayaan dan kepercayaan masih terus akan bertahan dan
berkembang.[6]
Selain itu antara etnis Bali dan
Etnis Sasak (Islam) juga terjadi interaksi jual beli di pasar tradisional
antara pedagang etnis Sasak misalnya (pedagang sate, cendol, buah, kain, tukang
jarit dan sebagainya) dengan pembeli masyarakat etnis Bali dan begitu pula
sebaliknya. Tidak hanya sebatas pedagang dan pembeli, interaksi juga terjadi
pada sesama pedagang etnis Bali dan Etnis Sasak. Mereka saling memberikan
rekomendasi dagangan teman atau kerabat mereka kepada pembeli yang ingin
membeli kebutuhan sehari-hari. Kerjasama juga terjadi saat para pedagang etnis
Bali dan etnis Sasak saling membantu menaikkan dan membawa barang-barang dagangan
saat berurusan dengan pihak berwajib (tibum).[7]
Kerjasama antara etnis Bali dan etnis Sasak
sudah terjadi jauh sebelumnya, pada saat kedatangan Islam (Sasak) dengan pihak
kerajaan Karangasem. Masyarakat Islam Sasak ditempatkan berdampingan dengan masyarakat
hindu dan bekerjasama dalam menjaga keamanan wilayah kerajaan Karangasem dari
serbuan kerajaan lainnya di Bali. Selain itu antara etnis Bali dan Etnis Sasak
(Islam) juga terjadi interaksi jual beli di pasar tradisional antara pedagang
etnis Sasak misalnya (pedagang sate, cendol, buah, kain, tukang jarit dan
sebagainya) dengan pembeli masyarakat etnis Bali dan begitu pula sebaliknya.
Setelah
mempelajari suku Trunyan maka dapat dikatakan bahwa setelah adanya interaksi
dengan agama Hindu maka Dewa Ratu Pancering Jagat dianggap sebagai dewa
tertinggi dan juga Dewi Ratu Ayu Pingit itu sebagai saktinya dari Ratu
Pancering Jagat tersebut.
[1]
James Danandjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali,
(Jakarta: UI-Press, 1989), h. 32.
[3] James Danandjaja, Op.cit, h. 40.
[4] https://odeammooa.wordpress.com/2015/06/10/pengaruh-budaya-terhadap-arsitektur-desa-adat-trunyan-dalam-bingkai-wujud-dan-unsur-kebudayaan/,
11 April 2016.
[5] M. Junus Melalatoa, Ensiklopedia Suku Bangsa Di Indonesia,
(Jakarta: CV. Eka Putra, 1995), h. 843.
[6] James Dananjaja, Kebudayaan Petani Desa
Trunyan Di Bali, (Jakarta, UI Press, 1980) h. 444.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar