Kamis, 09 Juni 2016

Agama Tradisional Orang Lombok



Agama Tradisional Orang Lombok
A.    Sejarah, Pendiri dan Tokoh-tokoh kepercayaan Waktu Telu
1.      Sejarah
Waktu-Telu didefinisikan secara berbeda-beda, sesuai dengan penafsiran masing-masing kelompok. Diantaranya sebagai berikut:
1. Kelompok Islam Waktu-Telu sendiri member batasan sebagai ‘’ proses kejadian makhluk di alam semesta’’.
2. Keorang pakar dari belanda menyebut Waktu-Telu sebagai bentuk kepercayaan zaman majapahit yang terkena pengaruh ajaran Islam.
3. Menurut kenyataanya, Waktu-Telu adalah sekelompok masyarakat Islam yang belum menyempurnakan syariat atau ajaran agamanya.
           Pendapat lain menyebutkan bahwa lahirnya istilah Wetu Telu sudah muncul sejak zaman penjajahan yang dikembangkan oleh para penjajah dari belanda yang menjalankan politik. Agar masyarakat muslim sasak terpecah belah, ia melakukan dikotomi islam dalam dua bentuk yaitu Islam Wetu Telu dan Islam Waktu Lima[1]
Selanjutnya dari manakah asal mulanya “Waktu Telu” ini? Apakah dari pemeluknya sendiri atau dari kalangan luar? Masalah ini banyak yang berbeda pendapat, ada yang mengatakan berasal dari ppemeluknya dan ada pula menolak anggapan tersebut. Namun agaknya pandangan yang mengatakan bahwa istilah Waktu-Telu itu muncul dari mereka sendiri sulit diterima, karena berapa hal.[2]
Pertama, para pengikutnya berbeda-beda menyebut faham mereka sesuai dengan perbedaan daerah. bahkan, tidak sedikit dari mereka yang keberatan dengan sebutan Waktu-Telu ini yang sering dihubungkan dengan praktek ajaran Islam yang tidak sempurna. Sebaliknya, menurut mereka, apa yang mereka anut itu berdasarkan ajaran Islam yang benar sesuai dengan yang diwariskan secara turum-temurun dari nenek moyang mereka.[3]
Kedua, menurut keterangan para pemuka kepercayaan Waktu-Telu, penyebutan istilah Waktu-Telu ini biasanya berasal dari kelompok yang merasa telah menjalankan ajaran Islam secara benar. Selain itu, proses penamaan juga muncul dari para pengikut Waktu-Telu yang dianggap berbeda dengan penganut agama Islam pada umumnya.[4]
2.      Pendiri dan Tokoh-tokohnya[5]
Yang dianggap sebagai pendiri Islam Waktu-Telu di Bayan (Lombok Barat bagian Utara) adalah Ratu Mas Pahit Sembah Ulun yang idsebut Wong Mukmin. Dia adalah seorang penyebar Islam dari Jawa. Dalam penyebaran ajaran Islam ia berpedaoman pada sumber Islam yang hakiki, yakni al-Qur;an dan Hadits, tetapi tidak membrantas adat yang berlaku di Lombok. Adapun tokoh-tokohnya adalah:
a.       Raden Singadriya
b.      Datu Sukowati
c.       Manik Irmansyah
d.      Mamiq Murti
e.       Raden Suweno
f.       Andaka
g.      Aja
h.      Jadid.
Adapun tokoh yang sudah wafat adalah:
a.       Kyai Talun
b.      Guru Dolah
c.       Kyai Adet
d.      Dr. Raden Sujono
e.       Kapuk Magas
f.       Mamiq Ocet Salim
g.      Bratayudha.

B.     Pokok-Pokok Kepercayaan dan Upacara Keagamaan
Kepercayaan orang Lombok animisme, dinamisme juga percaya dan menghormati terhadap roh, keyakinan komunitas Islam Wetu Telu adalah percaya kepada makhluk halus yang bersemayam pada benda mati atau benda tertentu atau memiliki kekuatan tetapi tunduk di hadapkan kekuatan Tuhan. Menyangkut Roh leluhur, mereka percaya bahwa Adam dan Hawa merupakan asal usul nenek moyang kita.
Adapun pelaksanaan salat dan upacara-upacara keagamaan lainnya adalah sebuah cara untuk mengadakan hubungan antara manusia dengan Tuhan:
a.       Hubungan manusia-mangku-dewa-Tuhan (mangku dan dewa sebagai penghubung)
b.      Hubungan manusia-Kyai-Tuhan (Kyai sebagai penghubung)
c.       Pelaksanaan Shalat
d.      Pelaksanaan Zakat
e.       Ibadah Haji
f.       Harta Warisan[6]

C.    Konsepsi Kepercayaan Islam Waktu Telu
Cara berfikir penganut islam waktu telu itu masih sangat sederhana, barangkali karena struktur masyarakatnya yang terisolir dan tidak mudah menerima pengaruh dari luar, apabila jika menyangkut adat istiadat dan agama yang mereka terima dari nenek moyangnya.
Penganut faham Islam Waktu-Telu ini tersebar di beberapa desa dan kampung di pulau Lombok. Secara prinsip tidak ada perbedaan yang berarti antara faham Waltu-Telu dengan aqidah Islam yang lain, yang barangkali berbeda adalah pada pelaksanaa syari’at atau praktek ibadah sehari-hari yang lebih banyak disesuaikan dengan tradisi atau adat istiadat setempat. Adapun konsepsi tentang ketuhanan secara teologis, tidak ada perbedaan yang berarti antara faham Islam Waktu-Telu dengan konsep teologi Islam. Ia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa. Percaya kepada Nabi dan Rasul, kepada malaikat kepercayaan dan Hari kemudian, daan pada adanya Sorga dan Neraka.[7]
Kitab suci faham Islam Waktu-Telu adalah al-Qur’an. Meskipun tidak banyak dari mereka yang mengetahui isi atau mempelajari kitab suci ini, apalagi menjadikan isi kitab ini sebagai landasan berpijak dalam kehidupan sehari-hari di muka bumi. Kitab ini seringkali malah dijadikan azimat atau benda keramat yang sekali-kali saja diambil sebuah tempat penyimpanan khusus di waktu-waktu tertentu.[8]

D.    Interaksi Kepercayaan orang Lombok dengan agama-agama Lain[9]
Adapan contoh  perubahan yang bersifat akulturasi atau yang bersifat diterima baik oleh masyarakat yang mempercayai kepercayaan animisme, dinamisme khususnya di pulau lombok tanpa ada pemaksaan  adalah dapat digambarkan lain yang sering diucapakan dalam kehidupan sehari-hari adalah Inaq, Amaq, Allah (Ibu, Bapak dan Tuhan) juga sebagai ungkapan kalau sorga itu berada dibawah telapak kaki ibu, filosofi ini juga masuk dan erat kaitannya dengan ajaran Agama Islama dimana semua ummat Islam  harus tunduk dan patuh terhadap ajaran agama  tersebut dan inilah alasan masyarakat lombok yang mempercayai animisme dan dinamisme menerima baik ajaran yang dibawa oleh para wali yang berasal dari jawa yakni ajaran agama islam.
 Keyakinan lain juga tergambar dari tiga aspek kehidupan yaitu Air, Angin dan Tanah, ketiga unsur ini juga menjadi dasar utama semua mahlauk hidup yang ada dimuka bumi dapat tumbuh, hidup serta berkembang biak, apa bila ketiga elemen ini tetapada dan dapat dilestarikan. Ketiga unsur lain tentang makna serta filosofi Wetu Telu yaitu Adanya tiga unsur yang mengayomi dan menuntun serta membina manusia atau masyarakat, yaitu dari Kyai yang berdasarkan keturunan dan memiliki tugas khusus dibidang agama,Tokoh Adat yang mengatur soal adat dan istiadat, dan yang terakir adalah pemerintah yang juga khusus membidangi sistim pemerintahan.
 Sedangkan contoh perubahan yang bersifat singkretik adalah bisa kita lihat pada saat masyarakat Islam wetu telu mengadakan Syukuran dalam bentuk zikiran bersama atau zikiran bagi orang sudah meninggal dunia . Dalam melaksanakan zikiran masyarakat wetu telu selalu menyalakan Dupe dalam bahasa sasaknya (Menyam) seperti apa yang dilakukan oleh orang orang yang memiliki kepercayaan animisme, dinamisme dan hindu pada saat melakukan sembahyang di depan patung yang mereka buat sendiri . Pada kita tahu bahwa menyalakan dupe dalam ajran islam sangat tidak bolehkan oleh agama islam karena kita seolah- olah mendo’akan orang yang meninggal itu masuk neraka dan ini masih d\ipraktikan oleh masyarakat wetu telu sampai sekarang. Dan contoh inilah yang bisa disebut dengan perubahan yang bersifat singkretik karena ada unsur pemaksaan dan dalam ajaran agama islam tidak diperbolehkan menggunakan Dupe. Sikap masyarakat orang lombok setempat yang memeluk agama lain seperti Islam atau Hindu, tidak memberikan reaksi kebencian ataupun kemarahan atau antipati kepada mereka penganut Buda yang telah banyak beralih kepada agama Buddha. Toleransi dan kerukunan antar mereka berjalan dengan baik, tidak pernah terjadi konflik sosial, hubungannya cukup harmonis.[10]





[1] Muhammad Harifin Zuhdi, “Lombok Mirah Tradisi Merariq: Akulturasi Islam dan Budaya Lokal”, (Lombok Mirah Sasak Adi. Jakarta: Imsak Press, 2011) h. 78
[2] Neng Darol Afia (Ed), Tradisi dan Kepercayaan Lokal Pada Beberapa Suku di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1998), h. 59
[3] Ibid, h. 60
[4] Ibid, h. 60
[5] Ibid, h. 67-71
[6] Ibid, h. 79-89
[7] Ibid, h. 71-72
[8] Ibid, h. 75
[10] Achmad Rosidi, Perkembangan Paham Keagamaan Lokal Di Indonesia ( Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian, 2011) h. 300

Tidak ada komentar:

Posting Komentar