AGAMA TRADISIONAL ORANG DAYAK
1. Asal-usul Orang Dayak
Suku dayak pada dasarnya berasal
dari keturunan para imigran yang berasal dari Cina Selatan (Yunann). migrasi
ini diperkirakan terjadi sekitar antara tahun 3000 s/d 1500 SM pada zaman
glasial (zaman glasial). mereka membentuk kelompok pengembara yang berjalan
dari negeri asal melewati Vietnam Indocina, kemudian menuju Malaysia hingga
akhirnya masuk di kepulauan Nusantara. Suku Dayak sebenarnya memiliki sub-sub
yang banyak. Secara garis besar suku Dayak yang berdiam di wilayah Kalimantan
Timur terdiri dari, Suku Dayak Tunjung, Benuaq, Bahau, Unan, Kenyah, Busang dan
Penihing.[1]
2. Mite dan Magis Orang Dayak
a. Mite
Penjadian
Di dalam mite penjadian dituturkan bahwa segala sesuatu terjadi dalam
beberapa tahap. Pada tahap pertama, yaitu sebelum alam semesta dijadikan,
semula yang ada adalah dua bukit, tempat kediaman kedua dewata yang tertinggi,
yaitu bukit emas dan bukit permata. berkali-kali kedua bukit ini bertabrakan.[2]
Dalam tabrakan antara keduanya maka lahirlah tabrakan-tabrakan yang menyebabkan
sesuatu yang lain muncul, seperti adanya awan yang merupakan pertabrakan
pertama. kemudian muncul lagi bentangan langit yang merupakan pertabrakan kedua
dan seterusnya sehingga pertabrakan yang terakhir yaitu menghasilkan mahkota
Mahatala yang terdiri dari emas yang dihiasi batu permata yang berdiri tegak.
Tahap kedua tidak diceritakan dengan jelas. Yang terang ialah, bahwa pada
akhir tahap kedua ini alam atas dan alam bawah sudah terjadi sebagai suatu
totalitas. akan tetapi pada waktu itu belum ada manusia dan tempat kediaman
manusia. pada tahap ketiga Mahatala memanggil Jata untuk berunding di alam
atas. dalam perundingan itu Mahatala mengangkat mahkotanya ke atas. perbuatan
ini menyebabkan tumbuhnya sebatang pohon hidup yang memiliki daun dari emas dan
buah dari gading.[3]
b. Magis Orang Dayak[4]
Suku Dayak
mempunyai prajurit hantu dan seperti itu lah yang mereka ketahui tentang suku
Dayak. Apa benar suku Dayak mempunyai prajurit hantu? Mungkin anda telah
mengetahuinya siapa sebenarnya prajurit hantu ini yaitu pangkalima burung atau
penglima burung. Perawakan panglima burung yang masih misterius bagi masyrakat
Indonesia menjadikan pangkalima burung bak prajurit hantu yang siap menyerang
siapa saja yang melecehkan suku dayak untuk melindungi tanah Borneo.
Selanjutnya
yaitu pedang mematikan, pedang mematikan ini adalah pedang magis yang dapat
membunuh siapapun tanpa rasa kasihan. Sumpit beracun. Entah apakah sumpit
beracun masih ada atau tidak untuk saat ini, namun sumpit beracun suku dayak
telah menjadi sejarah tersendiri bagi masyarakat dayak pasa masa penjajahan di
masa lalu. Kemudian, suku dayak memiliki kekuatan magis yang sangat berbahaya
yang menjadikan suku dayak sebagai salah satu dari 5 suku paling di takuti di
dunia karena sihirnya.
3. Struktur Keagamaan Orang Dayak (Faham Kaharingan dan Ajarannya)
Menurut pendapat orang Dayak, agama Kaharingan telah ada sejak
ribuan tahun yang lalu, sejak awal adanya dunia ini, saat Ranying
Hatalla Langit (nama tuhan mereka) menciptakan alam semesta. Kaharingan
telah lebih dulu ada sebelum kedatangan Hindu, Budha, Islam dan agama Kristen
ke wilayah mereka. Setelah kedatangan agama-agama lain kepada orang-orang
Dayak, Kaharingan menjadi dikenal sebagai agama leluhur dayak, atau agama kuno. Kaharingan berarti
"hidup, ada dengan sendirinya”[5]
Dalam Kaharingan
juga terdapat Konsep Pohon Hayat atau Pohon Kehidupan yang mereka sebut Batang
Garing. Pohon ini merupakan simbolisasi dari kehidupan swargaloka yang
mereka sebut Lewu Tatau. Simbolisasi ini seringkali muncul pada
bangunan Sandung yang fungsinya sebagai tempat sakral penyimpanan
tulang-belulang sanak saudara yang telah meninggal.[6]
4. Upacara Adat Kematian dan Penguburan Orang Dayak (Dayak Benuaq, Kanayant,
Maanyaan, dll)
a.
Dayak Benuaq[7]
Prosesi adat kematian Dayak Benuaq dilaksanakan secara berjenjang.
Jenjang ini menunjukkan makin membaiknya kehidupan roh orang yang meninggal di alam baka. Orang Dayak Benuaq percaya
bahwa alam baqa memiliki tingkat kehidupan yang berbeda sesuai dengan tingkat
upacara yang dilaksanakan orang yang masih hidup (keluarga dan kerabat).
Alam baka dalam bahasa Benuaq disebut secara umum adalah Lumut. Di
dalam Lumut terdapat tingkat (kualitas) kehidupan alam baqa. Kepercayaan Orang
Dayak Benuaq tidak mengenal Nereka. Perbuatan-perbuatan jahat yang dilakukan
Orang Dayak Benuaq telah mendapat ganjaran selama mereka hidup, baik berupa
tulah, kutukan, bencana/malapetaka, penderitaan dll. Itu sebabnya Orang Dayak
Benuaq meyakini jika terjadi yang tidak baik dalam kehidupan berarti telah
terjadi pelanggaran adat dan perbuatan yang tidak baik. Untuk menghindari kehidupan yang
penuh bencana, maka orang Dayak Benuaq berusaha menjalankan adat dengan
sempurna dan menjalankan kehidupan dengan sebaik-baiknya. Secara garis besar
terdapat 3 tingkatan acara Adat kematian: Parepm Api, Kenyauw, Kwangkai Kewotoq (Kwangkey)
b.
Dayak Kanayatn[8]
Kuburan bagi Suku Dayak Kanayatn disebut "Patunuan" artinya tmp
pembakaran. Bila ada kematian, maka seluruh
anggota suku akan bergotong royong dengan cara bekerja sesuai keahlian, untuk
mempercepat upacara penguburan Jenazah sebelum diberangkatkan ke kuburan, di letakan tiga gumbal
tanah. Segumpal di kepala, disini kiri dan kanan diletakan segumpal. Kedua belah mata dan pusar jenazah di tutupi dengan uang logam.
Dihiasi seakan masih hidup, diberi minyak wangi dan ditutupi kain putih baru. Setelah semua sudah selesai terlaksana maka jenazah akan dibawa ke
"Panutuan" tempat pembakaran Dayak Kanayatn.
Adapun proses yang
dilakukan setelah itu adalah sebagai berikut:
1). Jenazah
tidak boleh dibakar dengan kayu sembarangan. Harus kayu dari pohon berbuah yang
bisa dimakan seperti Langsat, durian, rambutan dll. Tapi ada juga yang berkata
hanya boleh kayu buah Langsat info dari salah satu tetua Adat Dayak Kanayatn.
2). Api
pembakaran juga harus diambil dari dapur rumah duka. Pelaku pembakaran : 3 dari
pihak orang tua bapak dan 3 dari pihak orang tua Ibu.
3). Pihak
Bapak berdiri di kanan dan pihak Ibu berdiri di kiri jenazah. Kepala adat
berdiri di Ujung Kepala jenazah. Masing-masing memegang niru.
4). Pembakaran
Jenazah harus sampai menjadi Abu. Selama dibakar menurut kepercayaan Dayak
Kanayatn, jiwa orang mati melayang menuju Subayangan
5). Selesai
penguburan, seluruh peserta harus pulang ke rumah duka. Di depan rumah duka
dibuat api yang khusus yang harus dilewati
6). Orang-orang
melewati api kemudian pergi membersihkan diri dengan air. Artinya agar segala
setan,perusak, pengganggu diusir dan dicegah masuk
7). Selama
3 hari selesai penguburan. Seluruh keluarga bergotong royong membuat berbagai
bentuk perabot dari kayu. Berupa meja, kursi dan lain-lain.
8). Segala
benda yang pernah dilihat orang mati itu selama hidupnya. Dan seluruh Patung tersebut
dibawa kekuburan. Kemudian mereka berdoa ke Jubata, maksudnya agar arwah/roh orang
mati itu tidak lagi datang ke rumah dan arwah di terima di Subayangan - Sorga
tingkat ke tujuh.
9). 3
hari kemudian (hari ke 6 setelah "Patunuan"). Keluarga mengantar
makanan ke pekuburan untuk berhubungan terakhir dengan jiwa orang meninggal
10). Pada
hari ke-7 diadakan upacara di rumah duka. Wajib disediakan 1 piring berisi Abu,
1 piring berisi air dan 1 piring berisi makanan.
11). Ke-3 piring tersebut diletakan
ke tangga rumah yang dijaga Tetua Adat. Dengan urutan piring makanan, piring
air dan piring Abu.
d. Dayak Maanyaan[9]
Pada dasarnya Upacara (adat) kematian merupakan berbagai jenis
upacara (serangkaian) dari kematian sampai beberapa upacara untuk mengantar
adiau/ roh ke tumpuk adiau/ dunia akhirat. Berikut beberapa upacara yang pernah
saya hadiri:
1. Ijambe, (baca :
Ijamme’) yaitu upacara kematian yang pada intinya pembakaran tulang mati.
Pelaksanaan upacaranya sepuluh hari sepuluh malam. dan membutuhkan biaya yang
sangat besar, dengan hewan korban kerbau, babi dan ayam. Karena mahal Upacara
ini dilakukan oleh keluarga besar dan untuk beberapa Orang (tulang yang udah
meninggal) atau untuk beberapa Nama, dulu sering dilakukan di desa nenek saya
di desa Warukin, kecamatan Tanta, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.
2. Ngadatun, yaitu
upacara kematian yang dikhususkan bagi mereka yang meninggal dan terbunuh
(tidak wajar) dalam peperangan atau bagi para pemimpin rakyat yang terkemuka.
Pelaksanaannya tujuh hari tujuh malam.
3. Miya, yaitu
upacara membatur yang pelaksanaannya selama lima hari lima malam. kuburan
dihiasi dan lewat upacara ini keluarga masih hidup dapat “mengirim” makanan,
pakaian dan kebutuhan lainnya kepada “adiau” yang sudah meninggal.
4. Bontang, adalah
level tertinggi dan “termewah” bentuk penghormatan keluarga yang masih hidup
dengan yang sudah meninggal, upacara ini cukup lama 5 hari lima malam, dengan
biaya luar bisa, “memakan korban “puluhan ekor babi jumbo dan ratusan ekor ayam
kampung esensinya adalah memberi/ mengirim “kesejahteraan dan kemapanan” untuk
roh/ adiau yang di”bontang”, upacara ini bukan termasuk upacara duka, tapi
sudah berbentuk upacara sukacita.
5. Nuang Panuk, yaitu
upacara mambatur yang setingkat di bawah upacara Miya, karena pelaksanaannya
hanya satu hari satu malam. Dan kuburan si mati pun hanya dibuat batur satu
tingkat saja, di antar kue sesajen khas Dayak yaitu tumpi wayu dan lapat wayu
dan berbagai jenis kue lainnya dalam jumlah serba tujuh dan susunan yang cukup
rumit
6. Siwah, yaitu
kelanjutan dari upacara Mia yang dilaksanakan setelah empat puluh hari sesudah
upacara Mia. Pelaksanaan upacara Siwah ini hanya satu hari satu malam. Inti
dari upacara Siwah adalah pengukuhan kembali roh si mati setelah dipanggil
dalam upacara Mia untuk menjadi pangantu pangantuhu, atau “sahabat” bagi
keluarga yang belum meninggal.
5.
Interaksi Kepercayaan Orang Dayak dengan Agama-agama Lain[10]
Secara
keseluruhan orang Dayak belum mengenal agama-agama seperti Islam maupun yang
lainnya. mereka hanya mempercayai kepada para leluhur mereka, batu-batuan dan
lain-lain yang biasanya dianggap sakral. dalam kehidupannya pula memiliki rasa
pantangan yaitu mereka mempunyai pantangan untuk berbaur dengan suku-suku lain
terlebih lagi dengan agama lain yang belum mereka ketahui.
Orang Dayak selalu hidup dengan
dihantui rasa ketidaktenangan yang membuat mereka selalu berpindah-pindah. suku
yang satu ini sangat sulit berkomunikasi dengan komunitas-komunitas lain.
6.
Referensi
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung:
Alumni. 1986
Hadiwijono, Harun. Religi Suku Murba Di Indonesia. Jakarta:
BPK Gunung Mulia. Cet. II. 1985
Riwut, Tjilik. Maneser Panatau Tatu Hiang. Yogyakarta:
Pusaka Lima. 1979
http://m.kaskus.co.id/thread/55066022bccb1744118b4569/5-hal-yang-di-takuti-dunia-tentang-suku-dayak/ diakses pada tanggal 11/03/2016
http://arsitektur-lalu.com/wp-content/uploads/2014/01/Permukiman-Suku-Dayak-Ngaju.pdf diakses pada tanggal 11/03/2016
http://blogsauted.blogspot.co.id/2013/01/upacara-adat-kematian-dayak-maanyan.html#ixzz42VO1iN6q diakses pada tanggal 11/03/2016
http://nettik.net/fakta-suku-dayak-kalimantan/ diakses pada tanggal 11/03/2016
[1] Hilman
Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1986) h. 183
[2] Harun Hadiwijono,
Religi Suku Murba Di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), Cet.
II, h. 60
[3] Harun
Hadiwijono, Ibid, h. 60
[4] http://m.kaskus.co.id/thread/55066022bccb1744118b4569/5-hal-yang-di-takuti-dunia-tentang-suku-dayak/ diakses pada
tanggal 11/03/2016
[5] Tjilik Riwut, Maneser
Panatau Tatu Hiang, (Yogyakarta: Pusaka Lima, 1979)
[6] http://arsitektur-lalu.com/wp-content/uploads/2014/01/Permukiman-Suku-Dayak-Ngaju.pdf diakses pada
tanggal 11/03/2016
[9] http://blogsauted.blogspot.co.id/2013/01/upacara-adat-kematian-dayak-maanyan.html#ixzz42VO1iN6q diakses pada tanggal 11/03/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar