Kamis, 09 Juni 2016

Profil Suku Karo (Sumatera Utara)



Suku Karo (Sumatera Utara)
A.    Asal usul suku Karo
a.    Letak Geografis Tanah Karo
Dilihat dari Geografi Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Pegunungan Bukit Barisan dan merupakan daerah Hulu Sungai. Wilayah Kabupaten Karo adalah 2.127,25 kilometer persegi atau 212.725 Ha atau 2,97 persen dari luas Propinsi Daerah TIngkat I Sumatera Utara, dan secara geografis terletak diantara 2 derajat 50 menit Lintang Utara sampai 3 derajat 19 menit Lintang Utara dan 97 derajat 55 menit Bujur Timur sampai dengan 98 derajat 38 menit Bujur Timur.

Batas-batas wilayah Kabupaten Karo adalah:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Tapanuli Utara
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara (Propinsi Daerah Istimewa Aceh)
Kabupaten Karo terletak pada ketinggian 140 sampai dengan 1400 meter diatas permukaan laut dengan perbandingan luas sebagai berikut:
- Daerah ketinggian 140 s.d 200 meter diatas permukaan laut seluas 9.550 Ha (4.49 %)
- Daerah ketinggian 200 s.d 500 meter diatas permukaan laut seluas 11.373 Ha (5.35 %)
- Daerah ketinggian 500 s.d 1000 meter diatas pemukaan laut seluas 79.215 Ha (37,24%)
- Daerah ketinggian 1000 s.d 1400 meter dari permukaan laut seluar 112.587 Ha (52,92%).[1]
Menurut sumber yang kami temukan, pada zaman dahulu kala ada seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa. Dia tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang jauh sekali di seberang lautan. Dia mempunyai seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua orang. Nama panglima itu ialah Karo keturunan India.
Pada suatu ketika, maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua pasukannya dan menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk berangkat ke negeri seberang. Ia juga mengajak putrinya Si Miansari untuk ikut merantau. Miansari sangat senang mendengar berita itu, karena ia sedang jatuh cinta kepada panglima perang tersebut. Akhirnya maharaja membagi kelompok dan Miansari memilih untuk bergabung dengan panglima perang. Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan dengan rakit yang mereka buat sendiri.
Demikianlah mereka mulai berlayar dan mereka tiba si sebuah pulau yang bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk beberapa bulan. Dan mereka berburu untuk mencari makanan mereka. Suatu hari maharaja memandang ke sebelah selatan dan melihat suatu pulau yang lebih luas dan lebih hijau lagi. Ia berniat untuk menyeberang ke sana. Sore harinya ia mengumumkan kepada rakyatnya agar bersiap-siap untuk berlayar ke seberang.
Dalam perjalanan di tengah laut, mereka mengalami suatu musibah yang sangat dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak yang sangat besar, sehingga mereka tercerai berai. Mereka sangat ketakutan dan beranggapan bahwa ajal mereka akan segera tiba. Tak disangka-sangka Miansari beserta panglima dan rombongannya terdampar di sebuah pulau yang tidak mereka kenal tetapi maharaja dan rombongannya yang tidak tahu di mana keberadaannya. Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat untuk melarikan diri dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang dayang-dayang dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.
Dan tiba di suatu tempat. Mereka tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya.
Di pulau itu mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman. Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka, yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang bernama Belawan.
Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menelusuri aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang sekarang disebut Durin Tani. Di sana terdapat sebuah gua yakni gua Umang . Di dalam gua itulah mereka beristirahat untuk beberapa hari sebelum mencari tempat yang lebih aman. Karena mereka menganggap tempat itu belum begitu aman maka mereka memutuskan untuk mencari kembali tempat yang lebih aman. Mereka menelusuri hutan dan mengikuti aliran sungai menuju daerah pegunungan.
Setelah beberapa hari lamanya mereka berada dan berjalan di tengah hutan belantara dan mereka melewati beberapa tempat yang bernama Buluhawar, Bukum, maka tibalah mereka di suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di situ beberapa bulan lamanya. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan menelusuri hutan. Akhirnya mereka tiba di kaki gunung Barus. Dan melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka sangat senang melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk.
Mereka sangat senang dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu. Tetapi Si Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain. Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon “jabi-jabi” (sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali dengan selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka menamai sungai itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada.
Beberapa hari kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah yang sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi Karo ( Tanah Karo).
Pertama-tama mereka membangun rumah mereka dari kayu yang ada di tempat itu, beratapkan alang-alang, dan dindingnya berasal dari pohon enau. Dan mereka membangun 5 dapur dalam satu rumah. Si Karo mengangkat si Talon menjadi Kalimbubu, dan kedua dayang-dayang itu menjadi anaknya. Dan kedua pengawalnya diangkatnya menjadi menantunya. Dan mereka juga menikah.
Setelah beberapa lama mereka tinggal di tempat itu, si Karo memiliki lima anak. Tetapi semuanya adalah perempuan, dan semuanya sangat cantik, jelita. Beberapa tahun kemudian barulah lahir seorang anak laki-laki. Mereka menamainya Meherga (berharga). Dan dari kata inilah asal kata Marga.
Lambat laun, suku Karo semakin berkembang dan wilayah domisili mereka semakin bertambah luas. Hampir separuh daerah yang dulu dikenal Sumatra Timur, yang membentang mulai dari Taming (perbatasan Aceh) sampai kerajaan siak. Adapun tempat-tempat yang didiami oleh orang Karo membentang dari Sipispis di sekitar Tebing Tinggi sebelah utara menelusuri pantai sampai di Langkat, kemudian daerah selatan ke arah Tanah Karo sekarang, dan Tiga Lingga (kabupaten Dairi sekarang) terus ke Simalungun atas dan menyambung lagi ke Sipispis. Karena memiliki jiwa yang petualang yang agresif, suku Karo berkembang lebih lanjut sampai Aceh Tenggara. Bentuk dataran tinggi Kabupaten Karo menyerupai sebuah kuali, karena sebagian besar dikelilingi oleh pegunungan dengan ketinggian 140 s/d 1400 m di atas permukaan laut, terhampar di pegunungan Bukit Barisan serta terletak pada koordinat 2o50o LU, 3o19oLS, 97o 55o-98 o38o BT. Wilayah yang didiami oleh suku Karo dibatasi sebelah Timur oleh pinggiran jalan memisahkan dataran tinggi dari Serdang. Sebelah selatan kira-kira dibatasi oleh sungai Biang (yang diberi nama sungai Wampu, apabila memasuki Langkat), di sebelah Barat dibatasi oleh gunung Sinabung dan sebelah utara wilayah itu meluas sampai dataran rendah Deli dan Serdang.


B.     Karakteristik Masyarakat Karo
Karakteristik atau identitas dari sifat orang Karo memiliki ciri khas yang berbeda dengan etnis lain yang ada di Sumatra utara. Karakteristik orang Karo sangat banyak dipengaruhi oleh lingkungan alam yang mengitarinya. Sebagai masyarakat yang terisolir di pedalaman dan sekitar hilirnya, ternyata sebagai sebuah komunitas, di sana juga terbentuk sebuah budaya yang menjadi patron bagi masyarakat Karo dalam berhubungan dengan sang Pencipta, alam beserta isinya dan khususnya hubungan dengan masyarakat di dalamnya. Identitas yang sangat tampak di masyarakat Karo, terdapat 4 karakteristik, meliputi Marga, bahasa Kesenian dan adat istiadat.
a.       Marga adalah identitas masyarakat Karo yang unik. Setiap orang Karo mempunyai marga, yaitu sering di sebut dengan Merga Silima (Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring, dan Tarigan). Marga bagi orang Karo adalah hal yang paling utama dalam identitas. Dalam setiap perkenalan dalam masyarakat Karo terlebih dahulu ditanyakan marga. Merga berasal dari kata meherga berarti mahal. Mahal dalam konteks bahasa Karo berarti penting. Setelah di tanyakan merga di tanyakan bere-bere (marga dari ibunya), dan marga untuk perempuan adalah beru. Setelah itu dapat ditentukan tuturnya. Setelah itu baru masuk dalam tema pembicaraan.
b.      Bahasa Karo mempunyai bahasa khas dan mempunyai aksara yang khas pula. Bahasa dan aksara karo merupakan karya budaya yang memiliki nilai budaya yang tak ternilai harganya. Suku karo memiliki aksara, berarti nenek moyang orang Karo sudah pandai baca tulis alias tidak buta huruf. Dan bahasa karo adalah bahasa tertua kedua di Indonesia setelah Bahasa Kawi (Sanskerta/Jawa Kuno). Dalam kaitan ini ada beberapa kata yang mirip dengan bahasa Sanskerta, misalnya Aditya (Aditya), Soma (suma) Anggara (Anggara) dll.
c.       Kesenian Karo yang tradisional adalah gendang dan pakaian adat. Acara gendang ini ditampilkan dalam setiap acara adat, seperti perkawinan, kematian dan mengket rumah. gendang karo terdiri dari, gong, penganak, kecapi, serune, suram. Sedangkan pakaian adat karo terdiri dari uis nipes, beka buluh, sertali, rudang-rudang, dll.
d.      Adat Istiadat tertentu yang merupakan identitas adalah adanya perundingan adat yang disebut runggu (musyawarah dan mufakat) dalam perkawinan dan acara lainnya, dan rebu (pantang berbicara dengan kerabat tertentu, misalnya mertua dengan menantu). Adat rebu bagi orang karo tidak boleh langsung berbicara secara langsung, kalau mau berbicara harus dengan perantara. Contoh, jika mertua ingin mengatakan sesuatu kepada menantunya, ia akan mengatakan maksudnya dengan perantaraan orang lain atau benda lain. O batu tolong katakan kepada mertua aku mau pergi ke ladang. Pengeretret Disamping makna magis juga sebagai pengikat papan pada dinding rumah Si Waluh Jabu.
C.    Sistem kepercayaan masyarakat karo
Dalam hal alam pemikiran dan kepercayaan, orang Karo (yang belum memeluk agama Islam atau Kristen) erkiniteken (percaya) akan adanya Dibata (Tuhan) sebagai maha pencipta segala yang ada di alam raya dan dunia. Menurut kepercayaan tersebut Dibata yang menguasai segalanya itu terdiri dari
1.      Dibata Idatas atau Guru Butara Atas yang menguasai alam raya/langit.
2.      Dibata Itengah atau Tuan Paduka Niaji yang menguasai bumi atau dunia.
3.      Dibata Iteruh atau Tuan Banua Koling yang menguasai di bawah atau di dalam bumi.
Dibata ini disembah agar manusia mendapatkan keselamatan, jauh dari marabahaya dan mendapatkan kelimpahan rezeki. Mereka pun percaya adanya tenaga gaib yaitu berupa kekuatan yang berkedudukan di batu-batu besar, kayu besar, sungai, gunung, gua, atau tempat-tempat lain. Tempat inilah yang dikeramatkan. Dan apabila tenaga gaib yang merupakan kekuatan perkasa dari maha pencipta -dalam hal ini Dibata yang menguasai baik alam raya/langit, dunia/bumi, atapun di dalam tanah- disembah maka permintaan akan terkabul. Karena itu masyarakat yang berkepercayaan demikian melakukan berbagai variasi untuk melakukan penyembahan.
Mereka juga percaya bahwa roh manusia yang masih hidup yang dinamakan “Tendi“, sewaktu-waktu bisa meninggalkan jasad/badan manusia. Kalau hal itu terjadi maka diadakan upacara kepercayaan yang dipimpin oleh Guru Si Baso (dukun) agar tendi tadi segera kembali kepada manusia yang bersangkutan. Jika tendi terlalu lama pergi, dipercaya bahwa kematian akan menimpa manusia tersebut. Mereka juga percaya bahwa jika manusia sudah meninggal maka tendi akan menjadi begu atau arwah.
D.    Ritual keagamaan Masyarakat Karo
Banyak upacara ritual yang dilakukan oleh mereka yang ditujukan untuk keselamatan, kebahagiaan hidup, dan ketenangan berpikir. Upacara-upacara tersebut antara lain upacara kepercayaan menghadapi bahaya paceklik, menanam padi, menghadapi mimpi buruk, maju menuju medan perang, memasuki rumah baru, menghadapi kelahiran anak, kematian, menyucikan hati dan pikiran, dan lain lain. Di semua kegiatan ritual ini peranan para dukun atau Guru Si Baso tersebut cukup besar.
Mereka yang berkepercayaan demikian itu lazim disebut sebagai perbegu atau sipelbegu. Tapi terlepas dari maksud pihak luar dengan penamaan istilah tersebut di atas, yang secara kasar dapat diartikan sebagai penyembah setan atau berhala, mereka menyatakan bahwa mereka percaya adanya Dibata yang menjadikan segala yang ada dan bahwa ada tenaga gaib atauu kekuatan maha dasyat darinya yang mampu berbuat apa saja menurut kehendaknya. Kalaupun ada dilakukan upacara ritual berupa persembahan, maka persembahan itu maksudnya adalah kepada Dibata tadi, hanya saja penyalurannya dilakukan di tempat-tempat yang dikeramatkan.
Dengan demikian, pada perkumpulan desa di mana penduduk selalu berada dalam alam fikiran dan kepercayaan tersebut, para warga selalu merasa ada hubungan dengan roh keluarga yang sudah meninggal dunia, terutama nenek moyang yang mereka hormati sebagai pendahulu mereka, pendiri desa, pelindung adat istiadat. Mereka juga percaya bahwa pada kebajikan roh-roh tersebut akan menentukan keselamatan anak cucu mereka.
Meski sekarang ini rakyat Karo telah resmi memeluk agama-agama seperti Katholik, Protestan, maupun Islam, kadang-kadang masih juga ditemui adanya penyimpangan-penyimpangan misalnya terlalu terikat kepada kepercayaan tradisionalnya. Agama-agama Katholik, Protestan, dan Islam telah dipeluk oleh rakyat Karo tersebut sebenarnya juga membawa perbedaan terhadap cara berpikir di antara rakyat Karo. Akan tetapi, sekarang ini keakraban dan kekeluargaan di antara masyarakat Karo tetap terpelihara dan tidak tergoyahkan karena masyarakat Karo masih berpegang pada adat istiadat berlandaskan Daliken Si Telu dan Tutur Si Waluh yang meski tertulis secara resmi namun merupakan pengikat bagi pola hidup sehari-hari anggota-anggota masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar