Kamis, 09 Juni 2016

Agama Tradisional Orang Sakai

Agama Tradisional Orang Sakai
A.    Asal-usul Orang Sakai di Kepulaun Riau
Menurut Boehari Hasmmy, mengatakan bahwa orang sakai datang dari kerajaan Pagaruyung Minangkabau Sumatera Barat dalam dua gelombang migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14 langsung ke daerah Mandau. Sedangkan yang datang kemudian diperkirakan tiba di Riau abad ke 18, yang datang di kerajaan Gasib dan kemudian hancur diserang oleh kerajaan Aceh, sehingga penduduknya lari ke dalam hutan belantara dan masing-masing membangun rumah dan ladangnya secara terpisah satu sama lainnya di bawah kepemimpinan salah seorang diantara mereka.[1]
Adapun asal-usul suku Sakai ini menarik perhatian, dengan itu banyak para ahli yang meneliti, berikut pemaparannya, Pendapat pertama mengatakan bahwa Suku Sakai merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid dengan orang-orang Melayu Tua. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada zaman dahulu penduduk asli yang menghuni Nusantara adalah orang-orang Wedoid dan Austroloid, kelompok ras yang memiliki postur tubuh kekar dan berkulit hitam.[2]
Suku sakai merupakan suku terasing yang mendiami provinsi Riau.  Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai Dalam.  Sakai dalam merupakan warga sakai yang masih hidup setengah menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan. Sakai luar adalah warga yang mendiami perkampungan berdampingan dengan pemukiman-pemukiman puak melayu dan suku lainnya.[3]
Nama sakai dalam sebutan bagi penduduk pengembara yang terpencil dari lalu lintas kehidupan dunia kekinian di Riau. Mereka tinggal di bagian hulu sungai Siak.Menurut Boehari Hasmmy, mengatakan bahwa orang sakai datang dari kerajaan Pagaruyung Minangkabau Sumatera Barat dalam dua gelombang migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14 langsung ke daerah Mandau. Sedangkan yang datang kemudian diperkirakan tiba di Riau abad ke 18, yang datang di kerajaan Gasib dan kemudian hancur diserang oleh kerajaan Aceh, sehingga penduduknya lari ke dalam hutan belantara dan masing-masing membangun rumah dan ladangnya secara terpisah satu sama lainnya di bawah kepemimpinan salah seorang diantara mereka.[4]
Suku Sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan keturunan Minangkabau yang melakukan migrasi ke tepi Sungai Gasib, di hulu Sungai Rokan, pedalaman Riau pada abad ke-14. Seperti halnya Suku Ocu (penduduk asli Kabupaten Kampar), Orang Kuantan, dan Orang Indragiri, Suku Sakai merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau berabad-abad lalu.



B.     Kepercayaan dan Magi Orang Sakai
Salah satu di antara ciri-ciri yang dimiliki orang Sakai yang juga dianggap oleh orang Melayu atau oleh golongan suku bangsa lainnya sebagai ciri-ciri orang Sakai, adalah agama mereka yang diselimuti oleh keyakinan pada “animisme”, kekuatan magi dan tenung. Dalam kenyataannya walaupun mereka telah memeluk agama Islam tetapi “agama asli” mereka tetap mereka yakini. Orang Sakai di Muara Basung memeluk agama Islam. Tetapi hanya sebagian saja yang betul-betul menjalankan shalat lima kali dalam satu hari dan berpuasa dalam bulan puasa. Mereka yang taat ini justru kebanyakan adalah anak-anak muda.[5]
Adapun inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau mahluk gaib yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa antu juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari pemukiman antu ini menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia.[6]
1.      Hantu dalam Konsepsi Orang Sakai
Meskipun masyarakat Sakai menganggap bahwa hantu memiliki dunia yang berbeda dengan mereka, namun hantu-hantu tersebut menempati wilayah yang juga dihuni manusia. Mereka tinggal di pepohonan, sungai-sungai, rawa-rawa, hutan, ladang, tempat pemukiman, rumah dan sebagainya. Bedanya dengan manusia adalah bahwa manusia tidak dapat melihat mereka, tetapi mereka dapat melihat manusia. Hanya orang-orang tertentu yang dapat berkomunikasi dengan hantu-hantu itu melalui ritual khusus untuk mendatangkan mereka.
Dalam pandangan masyarakat Sakai, hantu atau antu juga memiliki karakter yang sama dengan manusia, yaitu ada yang baik dan ada yang jahat. Namun, masyarakat Sakai tidak memiliki konsep yang jelas tentang jenis-jenis hantu yang baik dan yang jahat. Hantu dalam pandangan masyarakat Sakai sebenarnya memiliki karakter yang netral. Kecenderungan menjadi baik atau jahat tergantung dari situasi-situasi khusus. Hantu yang baik adalah hantu yang dapat dimintai bantuan ketika manusia memiliki kepentingan, sementara hantu yang jahat adalah hantu yang dapat mencelakakan manusia, misalnya hantu yang dapat mengirim penyakit, menimbulkan kemalangan, dan menyebabkan kematian.
Dalam pandangan masyarakat Sakai, arwah dari orang yang sudah meninggal juga menjadi bagian dari hantu-hantu tersebut. Orang Sakai sangat takut dengan arwah anggota keluarga yang baru saja meninggal, kecuali arwah bayi dan anak kecil. Ketakutan itu disebabkan adanya keyakinan bahwa arwah orang yang baru saja meninggal sebenarnya sudah hidup di alam lain tetapi masih berada dan tinggal di tempat-tempat anggota keluarga yang masih hidup.
Arwah orang yang meninggal ini berada di sekeliling anggota keluarga, dan karena hubungan yang dekat semasa hidup arwah tersebut selalu ikut campur urusan-urusan dan kegiatan-kegiatan anggota keluarganya. Campur tangan arwah tersebut tidak selamanya selaras dengan keinginan anggota keluarga yang masih hidup. Karena keduanya tidak dapat melakukan komunikasi, maka campur tangan dari arwah tersebut sering berujung pada kesialan pada anggota keluarganya yang masih hidup, misalnya selalu gagal dalam melakukan sesuatu. Intinya, keberadaan arwah tersebut dapat membawa sial. Oleh karena itu, orang Sakai biasanya meninggalkan rumah mereka selama seminggu ketika ada anggota keluarga mereka yang meninggal dunia.
Hal ini dimaksudkan agar arwah anggota keluarga yang meninggal tidak menempel terus dan mencampuri urusan dan kegiatan mereka. Jika si arwah dirasa masih mengikuti dan mencampuri urusan anggota keluarga yang masih hidup, maka jalan satu-satunya yang harus dilakukan anggota keluarga yang masih hidup adalah harus pergi menyeberangi sungai, karena arwah orang mati diyakini tidak dapat menyeberangi sungai.
Masyarakat Sakai memercayai bahwa penyakit dan kematian ada yang disebabkan oleh hantu. Hantu-hantu itu dapat dimintai bantuannya untuk menenung seseorang. Orang Sakai biasanya menggunakan medium hantu untuk menenung ketika terjadi perselisihan di antara mereka. Prinsip ilmu tenung orang Sakai adalah menggunakan kekuatan antu untuk membunuh lawan.
 Antu tersebut dapat disuruh melakukan pembunuhan dengan imbalan sesajian makanan yang terbuat dari beras ketan, beras, telur ayam, dan ayam. Walaupun hantu ini memiliki kekuatan yang dapat mencelakakan manusia, tetapi hanya orang-orang yang dianggap kotor yang dapat dicelakakan atau dibunuh hantu.
C.    Upacara Adat dan Keagamaan Suku Sakai
Suku sakai tergolong dalam ras Veddoid dengan ciri-ciri rambut keriting berombak. Kulit coklat kehitaman, tinggi tubuh laki-laki sekitar 155 cm dan perempuan 145 cm. Untuk berhubungan satu sama lain, orang Sakai menggunakan bahasa sakai. Banyak diantara mereka mengujar logat-logat bahasa batak Mandailing, bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu.
Dilingkungan masyarakat suku sakai masih ditemukan upacara yang berkaitan dengan daur hidup (Life cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan secara turun temurun yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku sakai. Adapun upacara tersebut antara lain:
1.      Upacara kematian
2.      Upacara kelahiran
3.      Upacara pernikahan
4.      Upacara penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (ife cycle) ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya:
1.      Upacara menanam padi
2.      Upacara menyiang
3.      Upacara sorang sirih
4.      Upacara tolak bala.[7]
D.    Interaksi kepercayaan orang sakai dengan agama-agama lain
Agama orang Sakai mempunyai kedudukan dan peranan yang penting dalam kehidupan individu dan keluarga khususnya untuk kesejahteraan hidup jasmani dan rohani dan kegiatan-kegiatannya adalah preventif dan kuratif. Corak kegiatan-kegiatan seperti ini lebih menekankan pada penggunaan kekuatan-kekuatan gaib atau magi untuk kepentingan-kepentingan praktis dalam kehidupan manusia. Coraknya yang seperti tersebut di atas sebenarnya merupakan hasil dari proses-proses adaptasi terhadap lingkungan kehidupan orang sakai setempat. Karena itu agama orang Sakai itu bersifat lokal dan hanya berlaku untuk tingkat lokal, baik dalam pengertian wilayah maupun corak kegiatannya yang khusus lokal yang tidak tercakup di dalam dan oleh ajaran-ajaran agama besar (Islam dan Kristen). Salah satu perwujudannya adalah cara pengobatan yang mereka namakan “dikir” (yang tidak sama dengan “zikir dalam Islam).[8]
Suku Sakai meskipun masyarakat terasing tetapi telah ada agama-agama besar yang masuk atau berinteraksi dengan suku mereka yaitu seperti agama Islam dan Kristen. Bukti adanya interaksi dengan agama-agama lain yaitu diantaranya: sebagaian dari orang Sakai di Kecamatan Mandau ada yang memeluk agama Kristen, di samping mayoritasnya beragama Islam. Mereka adalah orang-orang Sakai yang tinggal di desa-desa Tengganau, Kandis, dan Belutu. Walaupun jumlah mereka yang memeluk agama Kristen amat sedikit bila dibandingkan dengan pemeluk agama Islam, tetapi tokoh-tokoh Islam di kecamatan Mandau mengkhawatirkan perluasan jumlah mereka. Sebagian dari orang-orang Sakai yang telah memeluk agama Kristen ini tetap menjalankan cara-cara kehidupan sebagai orang Sakai, yaitu berladang; sedangkan sebagian lainnya mengubah mata pencaharian mereka menjadi pedagang atau buruh. Yang menarik adalah bahwa kalau sehari-hari orang-orang Sakai beragam Kristen itu tampak kumal tetapi pada hari Minggu, pada waktu pergi ke gereja, mereka tampak berpakaian rapih.[9] 





[1]Depsos, Petunjuk Teknis Masyarakat Terasing dan Terbelakang, (Jakarta:Depsos,1988), h. 27.
[2] Pasurdi Suparlan, Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), h. 39-40.
[3]Uu Hamidi, MasyarakatTerasing Daerah Riau di Gerbang Abad XXI, (Pekanbaru: UIR, 1991),  h.12.
[4]Depsos, Petunjuk Teknis Masyarakat Terasing dan Terbelakang, (Jakarta:Depsos,1988), h. 27.
[5] Pasurdi Suparlan, Ibid, h. 194
[6] Pasurdi Suparlan, Op.Cit, h. 197
[8] Pasurdi Suparlan, h. 201.
[9] Pasurdi Suparlan, h. 201,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar