Kamis, 16 Juni 2016
JURNAL yang berkaitan dengan Suku Karo, Suku Rejang dan Suku Kei
Berikut ini merupakan jurna-jurnal yang berkaitan dengan suku-suku, diantaranya Suku Karo (Sumatera), Suku Kei (Maluku) dan Suku Rejang (Bengkulu)
Jurnal antropologi budaya ini merekam studi kasus yang banyak terjadi disekitar wilayah tanah karo Sumatera Utara.
Jurnal ini berisikan tentang pengetahuan dan juga pemanfaatan metode pengobatan tradisional pada masyarakat di wilayah Sumatera Utara yang dimana diantaranya terdapat tanah Karo pada sebagian kecil pembahasannya.
Jurnal diatas membahas tentang bagaimana kekayaan alam di tanah Suku Kei, khususnya dibeberapa perairan pantai Kei besar yang banyak menghasilkan Teripang.
Jurnal ini menyampaikan tentang Suku Kei yang masih memegang tradisi Sasi, sasi disini merupakan bentuk larangan pengambilan sumber daya alam baik darat maupun laut, sasi hanya berlaku di daerah masyarakat Maluku.
Jurnal ini menggambarkan dan memberikan contoh bagaimana masyarakat kepulauan Kei menghadapi perang-perang atas laut dan juga tantangan pada manajemen sumber daya laut di era otonomi.
Jurnal ini membahas tentang kekayaan suku bangsa yang berada di kepulauan kei Maluku, diantaranya pada kabupaten Buru.
Jurnal ini berisikan tentang kajian Folklor Suku Rejang Bengkulu melalui lagu daerah. strategi budaya dalam pembelajaran kiranya sangat penting dan perlu diarahkan pemberdayaan budaya daerah yang tersebar dipelosok tanah air.
Jurnal tersebut membahas mengenai sejarah kolonisasi orang-orang jawa yang berada di Bengkulu pada saat itu.
Jurnal ini membahas tentang perbandingan adat di Maluku antara nilai-nilai baru atau eksklusivisme lama.
Kamis, 09 Juni 2016
Profil Suku Karo (Sumatera Utara)
Suku
Karo (Sumatera Utara)
A.
Asal
usul suku Karo
a.
Letak Geografis Tanah Karo
Dilihat dari
Geografi Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Pegunungan Bukit Barisan dan
merupakan daerah Hulu Sungai. Wilayah Kabupaten Karo adalah 2.127,25 kilometer
persegi atau 212.725 Ha atau 2,97 persen dari luas Propinsi Daerah TIngkat I
Sumatera Utara, dan secara geografis terletak diantara 2 derajat 50 menit
Lintang Utara sampai 3 derajat 19 menit Lintang Utara dan 97 derajat 55 menit
Bujur Timur sampai dengan 98 derajat 38 menit Bujur Timur.
Batas-batas
wilayah Kabupaten Karo adalah:
- Sebelah
Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang
- Sebelah
Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Tapanuli Utara
- Sebelah
Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun
- Sebelah
Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara (Propinsi Daerah Istimewa Aceh)
Kabupaten
Karo terletak pada ketinggian 140 sampai dengan 1400 meter diatas permukaan
laut dengan perbandingan luas sebagai berikut:
- Daerah
ketinggian 140 s.d 200 meter diatas permukaan laut seluas 9.550 Ha (4.49 %)
- Daerah
ketinggian 200 s.d 500 meter diatas permukaan laut seluas 11.373 Ha (5.35 %)
- Daerah
ketinggian 500 s.d 1000 meter diatas pemukaan laut seluas 79.215 Ha (37,24%)
- Daerah
ketinggian 1000 s.d 1400 meter dari permukaan laut seluar 112.587 Ha (52,92%).[1]
Menurut
sumber yang kami temukan, pada zaman dahulu kala ada seorang maharaja yang
sangat kaya, sakti dan berwibawa. Dia tinggal di sebuah negeri bersama
permaisuri dan putra-putrinya, yang jauh sekali di seberang lautan. Dia
mempunyai seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani
semua orang. Nama panglima itu ialah Karo keturunan India.
Pada suatu
ketika, maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan
mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua pasukannya dan menganjurkan
semuanya untuk bersiap-siap untuk berangkat ke negeri seberang. Ia juga
mengajak putrinya Si Miansari untuk ikut merantau. Miansari sangat senang
mendengar berita itu, karena ia sedang jatuh cinta kepada panglima perang
tersebut. Akhirnya maharaja membagi kelompok dan Miansari memilih untuk
bergabung dengan panglima perang. Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan
dengan rakit yang mereka buat sendiri.
Demikianlah
mereka mulai berlayar dan mereka tiba si sebuah pulau yang bernama Pulau
Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk beberapa bulan. Dan mereka berburu
untuk mencari makanan mereka. Suatu hari maharaja memandang ke sebelah selatan
dan melihat suatu pulau yang lebih luas dan lebih hijau lagi. Ia berniat untuk
menyeberang ke sana. Sore harinya ia mengumumkan kepada rakyatnya agar
bersiap-siap untuk berlayar ke seberang.
Dalam
perjalanan di tengah laut, mereka mengalami suatu musibah yang sangat dahsyat,
yaitu angin ribut dan ombak yang sangat besar, sehingga mereka tercerai berai.
Mereka sangat ketakutan dan beranggapan bahwa ajal mereka akan segera tiba. Tak
disangka-sangka Miansari beserta panglima dan rombongannya terdampar di sebuah
pulau yang tidak mereka kenal tetapi maharaja dan rombongannya yang tidak tahu
di mana keberadaannya. Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat untuk
melarikan diri dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang
dayang-dayang dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai dan
mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.
Dan tiba di
suatu tempat. Mereka tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya.
Di pulau itu mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman. Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka, yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang bernama Belawan.
Di pulau itu mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman. Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka, yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang bernama Belawan.
Dari tempat
itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menelusuri aliran sungai menuju
pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang sekarang disebut Durin Tani.
Di sana terdapat sebuah gua yakni gua Umang . Di dalam gua itulah mereka
beristirahat untuk beberapa hari sebelum mencari tempat yang lebih aman. Karena
mereka menganggap tempat itu belum begitu aman maka mereka memutuskan untuk
mencari kembali tempat yang lebih aman. Mereka menelusuri hutan dan mengikuti
aliran sungai menuju daerah pegunungan.
Setelah
beberapa hari lamanya mereka berada dan berjalan di tengah hutan belantara dan
mereka melewati beberapa tempat yang bernama Buluhawar, Bukum, maka tibalah
mereka di suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben
berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di situ beberapa bulan lamanya.
Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih indah dari pada
tempat itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan menelusuri hutan.
Akhirnya mereka tiba di kaki gunung Barus. Dan melanjutkan perjalanan ke gunung
Barus tersebut. Mereka sangat senang melihat pemandangan yang begitu indah dan
sejuk.
Mereka
sangat senang dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu. Tetapi
Si Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat bahwa
tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di negeri mereka.
Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain. Keesokan harinya mereka
beristirahat di bawah sebuah pohon “jabi-jabi” (sejenis beringin). Si Karo
mengutus seekor anjing untuk menyeberang sebuah sungai, untuk melihat keadaan.
Dan anjing itu kembali dengan selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu.
Mereka menamai sungai itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada.
Beberapa
hari kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di tempat
itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri mereka. Mereka
sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat mereka tinggal itu bernama
Mulawari yang berseberangan dengan si Capah yang sekarang Seberaya. Dengan
demikian si Karo dan rombongannya adalah pendiri kampung di dataran tinggi,
yang sekarang bernama dataran tinggi Karo ( Tanah Karo).
Pertama-tama
mereka membangun rumah mereka dari kayu yang ada di tempat itu, beratapkan
alang-alang, dan dindingnya berasal dari pohon enau. Dan mereka membangun 5
dapur dalam satu rumah. Si Karo mengangkat si Talon menjadi Kalimbubu, dan
kedua dayang-dayang itu menjadi anaknya. Dan kedua pengawalnya diangkatnya
menjadi menantunya. Dan mereka juga menikah.
Setelah beberapa lama mereka tinggal di tempat itu, si Karo memiliki lima anak. Tetapi semuanya adalah perempuan, dan semuanya sangat cantik, jelita. Beberapa tahun kemudian barulah lahir seorang anak laki-laki. Mereka menamainya Meherga (berharga). Dan dari kata inilah asal kata Marga.
Setelah beberapa lama mereka tinggal di tempat itu, si Karo memiliki lima anak. Tetapi semuanya adalah perempuan, dan semuanya sangat cantik, jelita. Beberapa tahun kemudian barulah lahir seorang anak laki-laki. Mereka menamainya Meherga (berharga). Dan dari kata inilah asal kata Marga.
Lambat laun, suku Karo semakin
berkembang dan wilayah domisili mereka semakin bertambah luas. Hampir separuh
daerah yang dulu dikenal Sumatra Timur, yang membentang mulai dari Taming
(perbatasan Aceh) sampai kerajaan siak. Adapun tempat-tempat yang didiami oleh
orang Karo membentang dari Sipispis di sekitar Tebing Tinggi sebelah utara
menelusuri pantai sampai di Langkat, kemudian daerah selatan ke arah Tanah Karo
sekarang, dan Tiga Lingga (kabupaten Dairi sekarang) terus ke Simalungun atas
dan menyambung lagi ke Sipispis. Karena memiliki jiwa yang petualang yang
agresif, suku Karo berkembang lebih lanjut sampai Aceh Tenggara. Bentuk dataran
tinggi Kabupaten Karo menyerupai sebuah kuali, karena sebagian besar
dikelilingi oleh pegunungan dengan ketinggian 140 s/d 1400 m di atas permukaan
laut, terhampar di pegunungan Bukit Barisan serta terletak pada koordinat 2o50o
LU, 3o19oLS, 97o 55o-98 o38o BT. Wilayah yang didiami oleh suku Karo dibatasi
sebelah Timur oleh pinggiran jalan memisahkan dataran tinggi dari Serdang.
Sebelah selatan kira-kira dibatasi oleh sungai Biang (yang diberi nama sungai
Wampu, apabila memasuki Langkat), di sebelah Barat dibatasi oleh gunung
Sinabung dan sebelah utara wilayah itu meluas sampai dataran rendah Deli dan
Serdang.
B.
Karakteristik
Masyarakat Karo
Karakteristik atau identitas dari
sifat orang Karo memiliki ciri khas yang berbeda dengan etnis lain yang ada di
Sumatra utara. Karakteristik orang Karo sangat banyak dipengaruhi oleh
lingkungan alam yang mengitarinya. Sebagai masyarakat yang terisolir di pedalaman
dan sekitar hilirnya, ternyata sebagai sebuah komunitas, di sana juga terbentuk
sebuah budaya yang menjadi patron bagi masyarakat Karo dalam berhubungan dengan
sang Pencipta, alam beserta isinya dan khususnya hubungan dengan masyarakat di
dalamnya. Identitas yang sangat tampak di masyarakat Karo, terdapat 4
karakteristik, meliputi Marga, bahasa Kesenian dan adat istiadat.
a.
Marga adalah identitas masyarakat Karo
yang unik. Setiap orang Karo mempunyai marga, yaitu sering di sebut dengan
Merga Silima (Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring, dan Tarigan).
Marga bagi orang Karo adalah hal yang paling utama dalam identitas. Dalam
setiap perkenalan dalam masyarakat Karo terlebih dahulu ditanyakan marga. Merga
berasal dari kata meherga berarti mahal. Mahal dalam konteks bahasa Karo
berarti penting. Setelah di tanyakan merga di tanyakan bere-bere (marga dari
ibunya), dan marga untuk perempuan adalah beru. Setelah itu dapat ditentukan
tuturnya. Setelah itu baru masuk dalam tema pembicaraan.
b.
Bahasa Karo mempunyai bahasa khas dan
mempunyai aksara yang khas pula. Bahasa dan aksara karo merupakan karya budaya
yang memiliki nilai budaya yang tak ternilai harganya. Suku karo memiliki
aksara, berarti nenek moyang orang Karo sudah pandai baca tulis alias tidak buta
huruf. Dan bahasa karo adalah bahasa tertua kedua di Indonesia setelah Bahasa
Kawi (Sanskerta/Jawa Kuno). Dalam kaitan ini ada beberapa kata yang mirip
dengan bahasa Sanskerta, misalnya Aditya (Aditya), Soma (suma) Anggara
(Anggara) dll.
c.
Kesenian Karo yang tradisional adalah
gendang dan pakaian adat. Acara gendang ini ditampilkan dalam setiap acara
adat, seperti perkawinan, kematian dan mengket rumah. gendang karo terdiri
dari, gong, penganak, kecapi, serune, suram. Sedangkan pakaian adat karo
terdiri dari uis nipes, beka buluh, sertali, rudang-rudang, dll.
d.
Adat Istiadat tertentu yang merupakan
identitas adalah adanya perundingan adat yang disebut runggu (musyawarah dan
mufakat) dalam perkawinan dan acara lainnya, dan rebu (pantang berbicara dengan
kerabat tertentu, misalnya mertua dengan menantu). Adat rebu bagi orang karo
tidak boleh langsung berbicara secara langsung, kalau mau berbicara harus
dengan perantara. Contoh, jika mertua ingin mengatakan sesuatu kepada
menantunya, ia akan mengatakan maksudnya dengan perantaraan orang lain atau
benda lain. O batu tolong katakan kepada mertua aku mau pergi ke ladang.
Pengeretret Disamping makna magis juga sebagai pengikat papan pada dinding
rumah Si Waluh Jabu.
C.
Sistem
kepercayaan masyarakat karo
Dalam hal alam pemikiran dan
kepercayaan, orang Karo (yang belum
memeluk agama Islam atau Kristen) erkiniteken (percaya) akan adanya Dibata (Tuhan) sebagai maha pencipta segala
yang ada di alam raya dan dunia. Menurut kepercayaan tersebut Dibata yang
menguasai segalanya itu terdiri dari
1. Dibata Idatas atau Guru Butara Atas yang menguasai alam
raya/langit.
2. Dibata Itengah atau Tuan Paduka Niaji yang menguasai bumi
atau dunia.
3. Dibata Iteruh atau Tuan Banua Koling yang menguasai di
bawah atau di dalam bumi.
Dibata ini disembah agar manusia
mendapatkan keselamatan, jauh dari marabahaya dan mendapatkan kelimpahan
rezeki. Mereka pun percaya adanya tenaga gaib yaitu berupa kekuatan yang
berkedudukan di batu-batu besar, kayu besar, sungai, gunung, gua, atau
tempat-tempat lain. Tempat inilah yang dikeramatkan. Dan apabila tenaga gaib
yang merupakan kekuatan perkasa dari maha pencipta -dalam hal ini Dibata yang
menguasai baik alam raya/langit, dunia/bumi, atapun di dalam tanah- disembah
maka permintaan akan terkabul. Karena itu masyarakat yang berkepercayaan
demikian melakukan berbagai variasi untuk melakukan penyembahan.
Mereka juga
percaya bahwa roh manusia yang masih hidup yang dinamakan “Tendi“,
sewaktu-waktu bisa meninggalkan jasad/badan manusia. Kalau hal itu terjadi maka
diadakan upacara kepercayaan yang dipimpin oleh Guru Si Baso (dukun) agar tendi tadi segera kembali kepada manusia yang
bersangkutan. Jika tendi terlalu lama pergi, dipercaya bahwa kematian akan menimpa
manusia tersebut. Mereka juga percaya bahwa jika manusia sudah meninggal maka tendi akan
menjadi begu
atau arwah.
D. Ritual keagamaan Masyarakat Karo
Banyak
upacara ritual yang dilakukan oleh mereka yang ditujukan untuk keselamatan,
kebahagiaan hidup, dan ketenangan berpikir. Upacara-upacara tersebut antara
lain upacara kepercayaan menghadapi bahaya paceklik, menanam padi, menghadapi
mimpi buruk, maju menuju medan perang, memasuki rumah baru, menghadapi
kelahiran anak, kematian, menyucikan hati dan pikiran, dan lain lain. Di semua
kegiatan ritual ini peranan para dukun atau Guru Si Baso tersebut cukup besar.
Mereka yang
berkepercayaan demikian itu lazim disebut sebagai perbegu atau sipelbegu. Tapi terlepas dari maksud
pihak luar dengan penamaan istilah tersebut di atas, yang secara kasar dapat
diartikan sebagai penyembah setan atau berhala, mereka menyatakan bahwa mereka
percaya adanya Dibata
yang menjadikan segala yang ada dan bahwa ada tenaga gaib atauu kekuatan maha
dasyat darinya yang mampu berbuat apa saja menurut kehendaknya. Kalaupun ada
dilakukan upacara ritual berupa persembahan, maka persembahan itu maksudnya
adalah kepada Dibata
tadi, hanya saja penyalurannya dilakukan di tempat-tempat yang dikeramatkan.
Dengan
demikian, pada perkumpulan desa di mana penduduk selalu berada dalam alam
fikiran dan kepercayaan tersebut, para warga selalu merasa ada hubungan dengan
roh keluarga yang sudah meninggal dunia, terutama nenek moyang yang mereka
hormati sebagai pendahulu mereka, pendiri desa, pelindung adat istiadat. Mereka
juga percaya bahwa pada kebajikan roh-roh tersebut akan menentukan keselamatan
anak cucu mereka.
Meski
sekarang ini rakyat Karo telah resmi memeluk agama-agama seperti Katholik,
Protestan, maupun Islam, kadang-kadang masih juga ditemui adanya
penyimpangan-penyimpangan misalnya terlalu terikat kepada kepercayaan
tradisionalnya. Agama-agama Katholik, Protestan, dan Islam telah dipeluk oleh
rakyat Karo tersebut sebenarnya juga membawa perbedaan terhadap cara berpikir
di antara rakyat Karo. Akan tetapi, sekarang ini keakraban dan kekeluargaan di
antara masyarakat Karo tetap terpelihara dan tidak tergoyahkan karena
masyarakat Karo masih berpegang pada adat istiadat berlandaskan Daliken Si Telu
dan Tutur Si
Waluh yang meski tertulis secara resmi namun merupakan pengikat bagi
pola hidup sehari-hari anggota-anggota masyarakat.
[1]
http://kitakitangeije-nake.blogspot.co.id/2011/04/mengenal-tanah-karo-simalem-lebih-dekat.html.
diakses pada 17 mei 2016.
Profil Suku Kei (Maluku)
Suku Kei
(Maluku)
A.
Asal-usul & Letak geografis Suku Kei
Kabupaten
Maluku Tenggara menurut Astronomi terletak antara : 5º sampai 6,5º Lintang
Selatan dan 131º sampai 133,5º Bujur Timur.
Adapun
letaknya menurut Geografis dibatasi antara lain oleh :
Sebelah Selatan : Laut Arafura
Sebelah Utara : Irian Jaya Bagian Selatan,
Wilayah Kota Tual.
Sebelah Timur : Kepulauan Aru
Sebelah Barat : Laut Banda dan bagian Utara
Kepulauan Tanimbar.
Luas
Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara ± 7.856,70 Km², dengan luas daratan ±
4.676,00 Km² dan luas perairannya ± 3.180,70 Km².
Kabupaten
Maluku Tenggara hanya terdiri atas 1 Gugusan Kepulauan yaitu: Gugusan Kepulauan
Kei yang terdiri atas Kepulauan Kei Kecil dengan Luas seluruhnya 722,62 Km² dan
Pulau Kei Besar dengan Luas 550,05 Km². Dengan jumlah Pulau tersebut sebanyak
25 buah pulau.
Secara
Topografi Pulau Kei Kecil, dengan ketinggian ± 100 M diatas permukaan laut.
Beberapa Bukit rendah di Tengah dan Utara mencapai 115 M. Pulau Kei Besar
berbukit dan bergunung yang membujur sepanjang pulau dengan ketinggian
rata-rata 500 - 800 M dengan Gunung Dab sebagai puncak tertinggi, dataran
rendah merupakan jalur sempit sepanjang pantai.
Menurut
peta Geologi Indonesia [1965], Pulau / Kepulauan di Maluku Tenggara terbentuk /
tersusun dari tanah dan batuan yang tercatat sebanyak 3 jenis Tanah dan 5 jenis
Batuan.[1]
Suku bangsa Kei ini
mendiami Kepulauan Kei di
Laut Arafuru, yang terdiri atas Pulau Nuhucut, Nuhurowa, Kaidullah, Toyandu,
Walir dan sejumlah pulau lebih kecil di sekitarnya. Kepulauan ini terbagi
menjadi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kei Besar dan Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku.
Mereka juga mendiami sebagian pulau-pulau di Kepulauan
Aru dan Tanimbar. Jumlah populasinya sekitar 35.000 jiwa, termasuk yang menetap
di berbagai tempat di pesisir Pulau Papua dan Maluku Tengah. Bahasa Kei sekerabat dengan bahasa
Fordata yang di gunakan oleh orang Tanimbar. Daratan di Kecamatan Kei Kecil sebagian besar merupakan
dataran rendah dan sisanya berupa tanah berbukit dengan ketinggian rata-rata
100 meter di atas permukaan laut. Sebaliknya daratan di wilayah Kecamatan Kei besar terdiri dari tanah
berbukit-bukit dan sedikit dataran rendah dengan ketinggian antara 500-800
meter di atas permukaan laut.
Orang Kei sendiri
suka menyebut dirinya Evav, artinya "pulau babi". Pendapat
lain mengatakan bahwa "Kei" berasal dari bahasa Portugis kayos
yang artinya "keras". Mungkin karena pulau-pulau tersebut
terbentuk dari batu-batu karang, dan ditumbuhi pula oleh jenis-jenis kayu yang
keras. Catatan-catatan prasejarah menunjukkan bahwa Kepulauan Kei pada masa lampau dikunjungi
oleh pelaut asing. Bukti-bukti prasejarah sendiri menunjukkan bahwa kepulauan
ini pernah dihuni oleh manusia-manusia berkebudayaan sama seperti di Australia
bagian utara. Ada pula sisa-sia peninggalan manusia berkebudayaan peralihan
dari daratan Asia, antara lain dengan ditemukannya nekara dan kapak upacara
dari perunggu di Kepulauan itu.
B. Sistem kepercayaan suku Kei
Menurut Yong
Ohoitimur, agama asli di Kei pada dasarnya mengandung unsur-unsur: Animisme,
Magi, dan Totemisme. Animisme berasal dari perkataan latin, anima artinya
“nyawa” Dari asal kata ini, nyawa bisa diartikan sebagai roh. Jadi animisme
dapat didefinisikan sebagai kepercayaan akan adanya roh-roh yang memasuki
benda-benda di dalam alam semesta, misalnya pohon, hutan, batu, air, dan
sebagainya. Istilah animisme, peratama kali dikemukakan oleh Edward Tylor,
melalui bukunya Primitive Culture (1871). Baginya bentuk agama yang
paling awal adalah the beliefe in spiritual being. Dalam visi Tylor
mengenai evolusi agama, disamping arwah-arwah dan makhluk-makhluk halus itu,
muncul dewata; kemudian diantara para dewata itu salah satunya muncul sebagai
dewa atau Tuhan yang terbesar, dan akhirnya dewata yang lain tidak diakui lagi.
Dalam konteks
masyarakat Kei, terdapat kepercayaan bahwa semua benda di alam semesta
memiliki roh. Roh dalam bahasa Kei disebut Duan. Duan
dianggap menetap dalam segala benda. Dalam perkembangan, ketika masuknya agama
Kristen, Duan itu kemudian mengalami sedikit perubahan dalam
penyebutannya menjadi Duad, yang lebih bermakna Tuhan Allah – yang
mengalahkan/mendominasi duan-duan lain. Wujud dari animisme dalam
masyarakat Kei sampai saat sekarng masih dapat teramati dalam betuk pemberian
persembahan (daun siri, buah pinang, tembakau, dan uang logam), yang diisi
dalam piring dan diletakan dibawah pohon atau tempat-tempat yang dianggap
keramat.
Sedangkan “Magi”
dalam agama lokal adalah suatu cara berpikir atau cara hidup, yang mempunyai
arti lebih tinggi daripada apa yang diperbuat oleh seorang ahli sihir sebagai
perseorangan. Kata magi juga digunakan untuk mengartikan usaha-usaha manusia
menguasai benda-benda dan orang lain dengan cara gaib. Menurut keyakinan orang,
kemampuan bekerja secara gaib pertama-tama terletak dalam suatu pertalian yang
erat antara pelaku magi itu dengan roh-roh halus – duan, setan atau
dewa-dewa. Orang Kei percaya bahwa baik manusia maupun makhluk lain memiliki
keahlian (dalam makna duan). Roh itu selalu berusaha mengambil bagian
dalam kehidupan manusia dan sebaliknya, maka orang Kei percaya bahwa ia mampu
memiliki keahlian untuk mempengaruhi roh manusia/makhluk lain. Pengaruh manusia
terhadap roh lain terjadi pada dunia gaib, tidak kelihatan, namun menggunakan
benda-benda duniawi. Misalnya seseorang menggunakan sebuah batu (atau suatu
benda tertentu), yang mempengaruhi orang lain sampai sakit, atau bahkan sampai
meninggal dunia.
Selanjutnya,
dalam sistem kepercayaan orang Kei terdapat juga model Totemisme. Totemisme
adalah sejenis roh pelindung manusia yang berwujud binatang.Dalam realitas
hidup masyarakat Kei, sebagai contoh masyarakat Ohoifau meyakini Ikan Puring
sebagai Totemnya, orang Ohoidertutu menerima penyu sebagai totemnya, bahkan fam/marga
tertentu juga memiliki totem sendiri, dan sebagainya. Orang Kei percaya ada
hubungan khusus antara obyek-obyek tertentu, seperti: ikan, burung, tumbuhan,
dan sebagainya dengan dunia ilahi. berdasarkan keyakinan seperti ini, orang
Kei menyebut ikan suci, rumput suci, burung suci, dan sebagainya. Terhadap
obyek suci itu orang harus menghormatinya.
Demikianlah
menjadi jelas beberapa bentuk asli dari praktek hubungan antara dunia nyata dan
dunia ilahi seperti terdapat dalam kehidupan orang Kei. Benang merah yang dapat
ditarik dari ketiga unsur di atas adalah bahwa orang Kei masih mengakui adanya
suatu kekuasaan ilahi yang sakral di luar yang profan. Sebagian ritus-ritus di
atas hanya kemukakan sebagai contoh, untuk menggambarkan bahwa masuknya
agama-agama dunia di Kei, tidak serta-merta menhilangkan kepercayaan atau agama
suku dari masyarakat tersebut
C.
Budaya Kei dan Kekristenan: kenyataan yang dapat
disejajakan.
Hukum adat dan nilai-nilai kekeluargaan
yang dimiliki masyarakat Kei sejak dahulu sebenarya memiliki kualitas dan
keampuhan untuk tetap menjaga persatuan dalam relasi yang majemuk. Setiap
kehidupan dan kegiatan didasarkan pada hukum adat memberi peluang kepada setiap
individu untuk tunduk kepadanya dan percaya bahwa hukum yang ada merupakan
sesuatu yang sacral dan punya kekuatan. Hukum adat dapat menjamin hak-hak
asasi, harkat dan martabat manusia, adanya penghargaan yang tinggi teradap
individu, kelompok, dan nilai hidup manusia. Pribadi manusia itu mulia dan
agung, memiliki kualitas dan keunikan masing-masing.
Budaya Kei pada dasarnya memiliki
kesejajaran dengan nilai-nilai kekeristenan. Misalnya, nilai cinta kasih,
damai, persaudaraan, suka-cita, solidaritas, dan saling menghargai orang lain
tanpa membedakan suku, agama, dan golongan. Nilai kekristenan hendak menunjukan
bahwa persaudaraan lebih baik dari pada balas dendam, cinta kasih lebih baik
dari pada kebencian. Kekristenan lewat institusinya (gereja) memberi perhatian
besar terhadap nilai-nilai kemanusiaan terutama mereka yang miskin, menderita,
tertindas, tersingkir, sakit dan mereka yang kecil. Gereja menyadarkan manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbatas. Untuk itu manusia harus saling
membantu, menghargai, solider, terbuka dalam membangun persatuan, kekeluargaan
dan persaudaraan sejati dengan Allah dan sesama. Dengan demikian kita dapat
mengenal diri kita sendiri sebagai peserta dalam satu komunitas dunia yang
meliputi semua agama.
Langganan:
Postingan (Atom)